TIDAK DIANGGAP MENOLONG.
Mulailah Menolong Diri Sendiri.
Teleponku berbunyi, diseberang langsung berujar.
“Kak Kolubi!, ini Iwan kak.”
“Iwan mana ya?”. Tentu saja aku bertanya karena tidak paham. Setelah itu ia langsung berbahasa komering bahasa ‘ibu’ kami dan kamipun ngobrol berbahasa komering sampai selesai, (saya ubah ke bahasa Indonesia.
“Saya adik Pandi, Raden Ismail nama Bapaknya. Akupun langsung ingat Pandi dimaksud dan Orangtuanya.
“Adik Dul”
“Ya kak”. Dul dan Pandi (kakak adik) kawan saya sekolah, main dan cari ikan disusun dulu. Kalau Iwan ini saya tak begitu paham karena waktu itu ia masih kecil sekali.
“Mainlah kerumah” ujar saya. Iwanpun langsung minta alamatku. Malamnya Iwan bersama tiga orang lelaki muda yang semuanya berasal dari dusunku datang. Semuanya aku tak paham, yang satu panggil akas / kakek, yang dua lagi panggil mamang / paman. Aku tak paham karena ketika aku merantau ke Aceh tahun 1977, mereka masih diawang-awang alias belum lahir, bahkan bapak dan ibunya belum menikah.
Biasalah kunjungan mereka untuk silaturahim, sesama orang sekampung dan sesama saudara. Kemudian Iwan bercerita dimana ia kerja dan tinggal, sebelum di Batam katanya ia sempat merantau ke Tanjung Karang-Lampung lalu sekarang ke Batam. Kami ngobrolpun berbahasa komering.
“Memangnya mengapa di Lampung, bukankah itu tempat abang kandungmu?”. Ujar saya.. Lalu Iwan menceritakan dengan nada agak kecewa. Selama di Lampung ia merasa tidak ditolong, dibiarkan cari kerja sendiri, hanya diberi pentunjuk yang menurutnya ala kadar, bahkan disuruh jaga kolam ikan. “kolam ikannya seberapa besar dan seberapa banyak?”. Ujarku lagi. Lumayan besar dan mungkin ada sekitar belasan (sambil mencoba menghitung dan mengingat-ingat), jenis ikannyapun bermacam-macam, hingga sekarang kak Dul yang jaga. Kulihat kehidupan kak Dul begitu-gitu saja, tak maju-maju. Kelihatannya Iwan begitu kecewa. Merantau seperti itu baginya percuma karena sama saja seperti kerja di dusun.
Nah..mungkin seperti itulah potret orang-orang kita, jika merantau dari kampung ke kota, inginnya kerja yang tidak seperti dikampung, harus bersih, bersepatu, berpakaian rapi atau berseragam. Pertolongan baru dianggap ditolong jika bekerja sesuai keinginan atau bayangannya. Pertolongan baru dihitung, sebagai bentuk pertolongan kalau itu besar dan berarti, misalnya ada gaji perbulan, ada kegiatan yang jelas menghasilkan duit.
Sementara diberi tempat tinggal, diberi makan, mungkin juga diberi pakaian, uang saku (walau ala kadar) tidak dihitung sebagai pertolongan. Bukankah semua itu bentuk pertolongan yang juga sangat berarti. Bayangkan jika tidak diberikan semua hal diatas. Kita sering kali tidak siap untuk merantau dan terlalu membayangkan untuk segera sukses dan memiliki pekerjaan yang mapan. Kita melupakan bahwa untuk sukses merantau walaupun tinggal dengan saudara sendiri memerlukan proses-proses. Termasuk kita sendiri juga harus pandai menunjukan bahwa sebelum ditolong kita juka harus mampu memberikan pertolongan kepada yang memberi kita tumpangan atau kepada yang kita tuju.
Rajin bangun pagi, menyiram bunga, tanaman, menyapu, mengangkat jemuran, mencuci piring, mencuci kendaraan dan hal-hal kecil lainnya dirumah yang kita tumpangi/yang kita tuju.. Dilakukan dengan iklas dan penuh inisitaif. Pertolongan kecil itu tentu sangat berguna. Coba bayangkan jika hal-hal kecil itu saja tidak dilakukan, apalagi ditambah dengan mengeluh terus. Bayangkan sendirilah apa cerita selanjutnya. Mulailah dengan menolong diri sendiri. Semoga bermanfaat.
Teleponku berbunyi, diseberang langsung berujar.
“Kak Kolubi!, ini Iwan kak.”
“Iwan mana ya?”. Tentu saja aku bertanya karena tidak paham. Setelah itu ia langsung berbahasa komering bahasa ‘ibu’ kami dan kamipun ngobrol berbahasa komering sampai selesai, (saya ubah ke bahasa Indonesia.
“Saya adik Pandi, Raden Ismail nama Bapaknya. Akupun langsung ingat Pandi dimaksud dan Orangtuanya.
“Adik Dul”
“Ya kak”. Dul dan Pandi (kakak adik) kawan saya sekolah, main dan cari ikan disusun dulu. Kalau Iwan ini saya tak begitu paham karena waktu itu ia masih kecil sekali.
“Mainlah kerumah” ujar saya. Iwanpun langsung minta alamatku. Malamnya Iwan bersama tiga orang lelaki muda yang semuanya berasal dari dusunku datang. Semuanya aku tak paham, yang satu panggil akas / kakek, yang dua lagi panggil mamang / paman. Aku tak paham karena ketika aku merantau ke Aceh tahun 1977, mereka masih diawang-awang alias belum lahir, bahkan bapak dan ibunya belum menikah.
Biasalah kunjungan mereka untuk silaturahim, sesama orang sekampung dan sesama saudara. Kemudian Iwan bercerita dimana ia kerja dan tinggal, sebelum di Batam katanya ia sempat merantau ke Tanjung Karang-Lampung lalu sekarang ke Batam. Kami ngobrolpun berbahasa komering.
“Memangnya mengapa di Lampung, bukankah itu tempat abang kandungmu?”. Ujar saya.. Lalu Iwan menceritakan dengan nada agak kecewa. Selama di Lampung ia merasa tidak ditolong, dibiarkan cari kerja sendiri, hanya diberi pentunjuk yang menurutnya ala kadar, bahkan disuruh jaga kolam ikan. “kolam ikannya seberapa besar dan seberapa banyak?”. Ujarku lagi. Lumayan besar dan mungkin ada sekitar belasan (sambil mencoba menghitung dan mengingat-ingat), jenis ikannyapun bermacam-macam, hingga sekarang kak Dul yang jaga. Kulihat kehidupan kak Dul begitu-gitu saja, tak maju-maju. Kelihatannya Iwan begitu kecewa. Merantau seperti itu baginya percuma karena sama saja seperti kerja di dusun.
Nah..mungkin seperti itulah potret orang-orang kita, jika merantau dari kampung ke kota, inginnya kerja yang tidak seperti dikampung, harus bersih, bersepatu, berpakaian rapi atau berseragam. Pertolongan baru dianggap ditolong jika bekerja sesuai keinginan atau bayangannya. Pertolongan baru dihitung, sebagai bentuk pertolongan kalau itu besar dan berarti, misalnya ada gaji perbulan, ada kegiatan yang jelas menghasilkan duit.
Sementara diberi tempat tinggal, diberi makan, mungkin juga diberi pakaian, uang saku (walau ala kadar) tidak dihitung sebagai pertolongan. Bukankah semua itu bentuk pertolongan yang juga sangat berarti. Bayangkan jika tidak diberikan semua hal diatas. Kita sering kali tidak siap untuk merantau dan terlalu membayangkan untuk segera sukses dan memiliki pekerjaan yang mapan. Kita melupakan bahwa untuk sukses merantau walaupun tinggal dengan saudara sendiri memerlukan proses-proses. Termasuk kita sendiri juga harus pandai menunjukan bahwa sebelum ditolong kita juka harus mampu memberikan pertolongan kepada yang memberi kita tumpangan atau kepada yang kita tuju.
Rajin bangun pagi, menyiram bunga, tanaman, menyapu, mengangkat jemuran, mencuci piring, mencuci kendaraan dan hal-hal kecil lainnya dirumah yang kita tumpangi/yang kita tuju.. Dilakukan dengan iklas dan penuh inisitaif. Pertolongan kecil itu tentu sangat berguna. Coba bayangkan jika hal-hal kecil itu saja tidak dilakukan, apalagi ditambah dengan mengeluh terus. Bayangkan sendirilah apa cerita selanjutnya. Mulailah dengan menolong diri sendiri. Semoga bermanfaat.
Comments