Ah..KAPAN INDONESIA MAJU?
Kantor Pajak.
Kemaren 6 Juli 2010 pagi-pagi sekali saya sudah SMS supir perusahaan yang biasa jemput, “hari ini tak usah jemput, saya cuti”. Entah kenapa kalau yang namanya mengambil cuti begitu terasa hebat dan penuh semangat 45. Banyak yang perlu saya selesaikan bersama istri saya, katanya tak boleh diwakilkan. Ya masalah sekolah anak, ke Bank, ke kantor notaris, ke kantor pajak.
Setelah semua selesai tibalah kami ke kantor pajak, begitu didalam kantor pajak itu terlihat banyak sekali orang dan aku langsung ingat GAYUS seorang PNS rendahan golongan III, tapii kaya berkat lihay "bermain" berjamaah. Kantor ini terlihat mewah dan namun sayang wajah-wajah pegawainya yang melayani “jutek” dan terlihat tak bergairah. Mungkin mereka sudah bosan dengan pekerjaannya, bertahun-tahun disitu, maklum. Saya ada usul gantian biar yang jadi orang kaya bisa merata.
Nomor urutanku 872, berarti banyak sekali yang mengurus masalah NPWP, belum loket-loket yang lain sudah 600 lebih. Pas giliranku, Aku langsung duduk.
“bu sejak tahun 2003 sampai sekarang saya belum mendapatkan kartu NPWP”
“kenapa bapak tidak meminta” dengan nada tinggi.
“sudah bu, dulu pertama kali saya terdaftar di Bintan”
“ya bapak harus ke sana, minta ke kantor pajak disana”
“loh kok ibu, marah-marah gitu, apa ibu lupa dengan visi dan misi itu, lihat tu ada kata profesional melayani, katanya online”. Saya menunjuk ke arah tulisan itu dan bapak rekan kerja ibu itu terus liat-liat saya, barangkali ia juga teringat kembali visi dan misi yang sudah lama tergantung didinding. Lalu ibu itu bilang, bapak buat saja laporan kehilangan ke polisi dan nanti bapak datang lagi kesini untuk diterbitkan.
Mengapa pegawai kantor pajak itu tidak seramah para pegawai bank ya?, padahal mereka jelas harus melayani dan yang mereka pungut atau kerjakan itu dari masyarakat, untuk masyarakat, tanpa masyarakat kantor pajak dan Indonesia tak ada apa-apanya. Melayani seperti ogah-ogahan gitu. Lain waktu istri saya pernah nunggu berjam-jam petugas pajak disatu loket, petugas yang lain tak mau melayani dan mengatakan rekannya masih istirahat makan tapi waktu sudah menunjukkan pukul 14.30.
Rupanya sorotan media dan masyarakat tentang Dirjen Pajak, tidak membuat mereka berubah, mungkin yang di Batam tidak disorot, jauh dari Jakarta. Jadi tak perlu berubah. Potret kantor pemerintah hampir sama dimana saja, bukannya melayani tapi minta dilayani. Feodalisme seperti selalu ingin berkuasa, harus diikuti tak boleh dibantah. Tidak disiplin, tidak memiliki target, tidak memiliki penilaian perfoma kerja yang jelas. Korupsi dilingkungan pemerintah bukannya berkurang, Presiden baru-baru ini telah menandatangani sekitar 150 kepala daerah dan atau DPRD untuk diperiksa karena tersangkut korupsi.
Perubahan-perubahan hanya sebuah slogan belaka, tapi tak pernah terjadi.Tapi memang lingkungannya begitu, sehingga siapapun yang jadi PNS akan seperti itu, termasuk aku, he..he maklum ...sebuah kata yang kadang-kadang bisa melanggengkan budaya korupsi. Ah.. kapan Indonesia lebih baik, semakin hebat dan semakin membanggakan, ya..
Kemaren 6 Juli 2010 pagi-pagi sekali saya sudah SMS supir perusahaan yang biasa jemput, “hari ini tak usah jemput, saya cuti”. Entah kenapa kalau yang namanya mengambil cuti begitu terasa hebat dan penuh semangat 45. Banyak yang perlu saya selesaikan bersama istri saya, katanya tak boleh diwakilkan. Ya masalah sekolah anak, ke Bank, ke kantor notaris, ke kantor pajak.
Setelah semua selesai tibalah kami ke kantor pajak, begitu didalam kantor pajak itu terlihat banyak sekali orang dan aku langsung ingat GAYUS seorang PNS rendahan golongan III, tapii kaya berkat lihay "bermain" berjamaah. Kantor ini terlihat mewah dan namun sayang wajah-wajah pegawainya yang melayani “jutek” dan terlihat tak bergairah. Mungkin mereka sudah bosan dengan pekerjaannya, bertahun-tahun disitu, maklum. Saya ada usul gantian biar yang jadi orang kaya bisa merata.
Nomor urutanku 872, berarti banyak sekali yang mengurus masalah NPWP, belum loket-loket yang lain sudah 600 lebih. Pas giliranku, Aku langsung duduk.
“bu sejak tahun 2003 sampai sekarang saya belum mendapatkan kartu NPWP”
“kenapa bapak tidak meminta” dengan nada tinggi.
“sudah bu, dulu pertama kali saya terdaftar di Bintan”
“ya bapak harus ke sana, minta ke kantor pajak disana”
“loh kok ibu, marah-marah gitu, apa ibu lupa dengan visi dan misi itu, lihat tu ada kata profesional melayani, katanya online”. Saya menunjuk ke arah tulisan itu dan bapak rekan kerja ibu itu terus liat-liat saya, barangkali ia juga teringat kembali visi dan misi yang sudah lama tergantung didinding. Lalu ibu itu bilang, bapak buat saja laporan kehilangan ke polisi dan nanti bapak datang lagi kesini untuk diterbitkan.
Mengapa pegawai kantor pajak itu tidak seramah para pegawai bank ya?, padahal mereka jelas harus melayani dan yang mereka pungut atau kerjakan itu dari masyarakat, untuk masyarakat, tanpa masyarakat kantor pajak dan Indonesia tak ada apa-apanya. Melayani seperti ogah-ogahan gitu. Lain waktu istri saya pernah nunggu berjam-jam petugas pajak disatu loket, petugas yang lain tak mau melayani dan mengatakan rekannya masih istirahat makan tapi waktu sudah menunjukkan pukul 14.30.
Rupanya sorotan media dan masyarakat tentang Dirjen Pajak, tidak membuat mereka berubah, mungkin yang di Batam tidak disorot, jauh dari Jakarta. Jadi tak perlu berubah. Potret kantor pemerintah hampir sama dimana saja, bukannya melayani tapi minta dilayani. Feodalisme seperti selalu ingin berkuasa, harus diikuti tak boleh dibantah. Tidak disiplin, tidak memiliki target, tidak memiliki penilaian perfoma kerja yang jelas. Korupsi dilingkungan pemerintah bukannya berkurang, Presiden baru-baru ini telah menandatangani sekitar 150 kepala daerah dan atau DPRD untuk diperiksa karena tersangkut korupsi.
Perubahan-perubahan hanya sebuah slogan belaka, tapi tak pernah terjadi.Tapi memang lingkungannya begitu, sehingga siapapun yang jadi PNS akan seperti itu, termasuk aku, he..he maklum ...sebuah kata yang kadang-kadang bisa melanggengkan budaya korupsi. Ah.. kapan Indonesia lebih baik, semakin hebat dan semakin membanggakan, ya..
Comments