KARTU KREDIT
Awas, Jadi Mangsa!!
Ternyata benar kata orang, memiliki kartu kredit (dit..diit..diit), memang memudahkan banyak hal, namun banyak juga yang akhirnya pusing dan bahkan mual. Ingin segera mengentikannya namun mengalami kesulitan, karena pihak pemilik kartu kredit yang dengan gagah, berani dan pantang mundur selalu berhasil menggagalkan usaha nasabah untuk berhenti. Pemegang kartu kredit juga selalu tak bisa menahan nafsu untuk memakainya karena mudah dan enak. Maka bisnis kartu kredit selalu menggiurkan dan dari tahun ketahun meningkat pemakainya. Mereka tergiur, mereka jadi sasaran empuk, aku juga kali???
Dari dulu hingga kini aku tak tertarik dengan kartu kredit, karena bagiku memegang kartu kredit adalah tindakan sangat konsumtif. Setahun yang lalu akhirnya temanku berhasil membujukku untuk membuat kartu kredit, ia membujukku untuk yang keempat kali selama 1,5 tahun kepadaku, itupun aku serahkan padanya untuk mengisi formulir, aku pas tandatangan saja. Inilah salah satu plus minus teman.
Sungguh aku tidak merasa bangga, dan tidak merasa naik tingkat kelas sosialku. Ketika diberitahu bahwa aplikasi yang saya lakukan telah disetujui pihak Bank, aku langsung lemes karena banyak cerita yang kudapat tentang kartu kredit ini yang gak enaknya dan itu akhirnya terbukti, memang sejatinya aku berharap tidak disetujui. Setelah setahun aku pegang kartu kredit itu tak pernah aku pakai. “rugilah pak, tak pernah dipakai, iurannya jalan terus”. Ujar teman kerjaku.
“Ya, saya heran saya gak pernah pakai tapi kok ada tagihannya, walau sekitar Rp 900,-”. Dan yang membuatku risih sekali sejak kartu kredit itu saya aktifkan banyak sekali telepon penawaran. Ada yang mengaku dari sindikasi restoran dan hotel berbintang seindonesia, ada yang mengaku dari asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, ada juga yang menawarkan kartu tambahan untuk istri dan anak-anaku. Ada juga dari jaringan potongan harga seluruh Indonesia, bahkan para penelpon itu pesaing dari kartu kredit saya untuk menawarkan kartu kredit mereka, dan yang lebih bingungnya entah dari mana mereka mendapatkan nomor HP saya. Apakah nomor saya tidak bisa dipegang kerahasiannya oleh penerbit kartu kredit saya.
Para penelpon itu menawarkan produk / jasa, Alhamdulillah selalu keok, ada saja cara aku untuk membuat mereka mundur teratur. Aku bilang bagimana aku mau percaya kalau cuma melalui telepon, kamu di Jakarta saya di Batam, saya minta brosurnya supaya ada hitam putihnya yang bisa saya pegang. Ada juga yang saya biarkan ia menjelaskan sampai bermenit-menit, aku hanya menyahut dan bergumam dan setelah panjang lebar dijelaskan, aku berucap “belum tertarik”, akhirnya ia bosan sendiri. Pernah yang nelpon bergantian mungkin karena saya terus mengatakan belum tertarik. Ada juga cewek yang malah saya yang bertanya-tanya lebih banyak ke dia, lalu dia pamit sendiri karena gak saya kasih kesempatan membicarakan produk yang hendak ditawarkannya. Para “tele marketing” (pemasaran melalui telepon) itu memang sudah terlatih terutama untuk memuji, berbicara harapan-harapan, kemudahan, kelebihan, kesabaran dan pantang menyerah serta intonasi dan gaya bicara yang semuanya aduhai.
Kalau tak waspada aku akan menjadi mangsa yang empuk bagi mereka, aku memang harus sedikit tega untuk hal-hal seperti ini, apalagi mengenai uang dan kartu kredit. Anda dan kita semua HARUS WASPADA dan TEGAS. Lain halnya jika anda benar-benar memiliki kelebihan pendapatan dan mampu mengontrol nafsu belanja. Kartu kredit memperlancar aktifitas, aktifitas uang keluar juga lancar.
Ternyata benar kata orang, memiliki kartu kredit (dit..diit..diit), memang memudahkan banyak hal, namun banyak juga yang akhirnya pusing dan bahkan mual. Ingin segera mengentikannya namun mengalami kesulitan, karena pihak pemilik kartu kredit yang dengan gagah, berani dan pantang mundur selalu berhasil menggagalkan usaha nasabah untuk berhenti. Pemegang kartu kredit juga selalu tak bisa menahan nafsu untuk memakainya karena mudah dan enak. Maka bisnis kartu kredit selalu menggiurkan dan dari tahun ketahun meningkat pemakainya. Mereka tergiur, mereka jadi sasaran empuk, aku juga kali???
Dari dulu hingga kini aku tak tertarik dengan kartu kredit, karena bagiku memegang kartu kredit adalah tindakan sangat konsumtif. Setahun yang lalu akhirnya temanku berhasil membujukku untuk membuat kartu kredit, ia membujukku untuk yang keempat kali selama 1,5 tahun kepadaku, itupun aku serahkan padanya untuk mengisi formulir, aku pas tandatangan saja. Inilah salah satu plus minus teman.
Sungguh aku tidak merasa bangga, dan tidak merasa naik tingkat kelas sosialku. Ketika diberitahu bahwa aplikasi yang saya lakukan telah disetujui pihak Bank, aku langsung lemes karena banyak cerita yang kudapat tentang kartu kredit ini yang gak enaknya dan itu akhirnya terbukti, memang sejatinya aku berharap tidak disetujui. Setelah setahun aku pegang kartu kredit itu tak pernah aku pakai. “rugilah pak, tak pernah dipakai, iurannya jalan terus”. Ujar teman kerjaku.
“Ya, saya heran saya gak pernah pakai tapi kok ada tagihannya, walau sekitar Rp 900,-”. Dan yang membuatku risih sekali sejak kartu kredit itu saya aktifkan banyak sekali telepon penawaran. Ada yang mengaku dari sindikasi restoran dan hotel berbintang seindonesia, ada yang mengaku dari asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, ada juga yang menawarkan kartu tambahan untuk istri dan anak-anaku. Ada juga dari jaringan potongan harga seluruh Indonesia, bahkan para penelpon itu pesaing dari kartu kredit saya untuk menawarkan kartu kredit mereka, dan yang lebih bingungnya entah dari mana mereka mendapatkan nomor HP saya. Apakah nomor saya tidak bisa dipegang kerahasiannya oleh penerbit kartu kredit saya.
Para penelpon itu menawarkan produk / jasa, Alhamdulillah selalu keok, ada saja cara aku untuk membuat mereka mundur teratur. Aku bilang bagimana aku mau percaya kalau cuma melalui telepon, kamu di Jakarta saya di Batam, saya minta brosurnya supaya ada hitam putihnya yang bisa saya pegang. Ada juga yang saya biarkan ia menjelaskan sampai bermenit-menit, aku hanya menyahut dan bergumam dan setelah panjang lebar dijelaskan, aku berucap “belum tertarik”, akhirnya ia bosan sendiri. Pernah yang nelpon bergantian mungkin karena saya terus mengatakan belum tertarik. Ada juga cewek yang malah saya yang bertanya-tanya lebih banyak ke dia, lalu dia pamit sendiri karena gak saya kasih kesempatan membicarakan produk yang hendak ditawarkannya. Para “tele marketing” (pemasaran melalui telepon) itu memang sudah terlatih terutama untuk memuji, berbicara harapan-harapan, kemudahan, kelebihan, kesabaran dan pantang menyerah serta intonasi dan gaya bicara yang semuanya aduhai.
Kalau tak waspada aku akan menjadi mangsa yang empuk bagi mereka, aku memang harus sedikit tega untuk hal-hal seperti ini, apalagi mengenai uang dan kartu kredit. Anda dan kita semua HARUS WASPADA dan TEGAS. Lain halnya jika anda benar-benar memiliki kelebihan pendapatan dan mampu mengontrol nafsu belanja. Kartu kredit memperlancar aktifitas, aktifitas uang keluar juga lancar.
Comments