MENOLAK UPAH MURAH.
Itulah perjuangan para buruh yang dilakukan dalam MONAS (mogok nasional) kemaren tanggal 03 Oktober 2012. Serentak di beberapa Kota, Kabupaten, dan Provinsi di Indonesia. Mogok masal, apalagi serentak secara nasional tentu gema dan pengaruhnya akan berbeda jika dilakukan hanya seorang, satu perusahaan, satu kota atau satu propinsi saja, akan dianggap angin lalu.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia akhir-akhir ini yang terus membaik, serapan tenaga kerja juga membaik, jumlah pengangguranpun menurun, bukan menurun ke anak cucu. Tapi jumlah orang tidak bekerja memang berkurang. Dengan kondisi seperti itu harapkan kemiskinan juga berkurang, itu idealnya.Tapi tidak begitu kenyataannya.
Orang memiliki pekerjaan / tidak menganggur, tidak secara otomatis menghilangkan kemiskinan. Pendapatannya / gaji yang ia terima tidak bisa menutupi kebutuhan setiap bulan, bahkan tetap memiliki hutang, tidak bisa menabung berupa uang karena tidak ada yang tersisa. Sebenarnya orang seperti ini masih tergolong miskin, dan itu sungguh banyak jumlahnya.
Mengapa begitu, karena harga-harga kebutuhan pokok terus melambung-lambung beberapa kali dalam setahun, dan itu tak pernah terjadi penurunan. Gula, telur, minyak goreng, tepung, beras terus merangkak...(maaf bukan merangkak tapi melompat-lompat). Na...kalau para buruh menolak upah murah....yang bisa dipahami bahwa upah harus dinaikkan, maka kenaikan upah seberapapun jumlahnya akan percuma karena harga-harga kebutuhan akan terus ikut-ikutan naik melebih persentase kenaikan upah yang hanya sekali dalam setahun sedangkan harga kebutuhan pokok yang diserahkan pada situasi pasar akan terus tidak terkendali secara berkali-kali menurut keinginan pasar atau orang-orang kuat.
Menurut saya yang sebenarnya perlu di tekan oleh buruh kepemerintah adalah, kepastian harga-harga yang memang harus dikendalikan seperti harga MINYAK (BBM). Tidak ada artinya upah dinaikan 100% namun harga-harga Kebutuhan naik melebihi 200%. Jadi MENOLAK UPAH MURAH ATAU MEMINTA HARGA KEBUTUHAN DIKENDALIKAN.
Comments