TELEVISI KITA MENDUA.
Tulisan ini berkaitan dengan mencuatnya kasus buku pelajaran (LKS) dibeberapa sekolah baik untuk tingkat SD, SPM dan SMA yang memuat tentang kekerasan, korupsi, perselingkuhan, istri simpanan dan seterusnya. Banyak orang tua, pemerhati pendidikan serta masyarakat mempersoalkan materi pelajaran yang menyangkut hal itu, karena dianggap tidak sesuai, tidak senonoh dan seterusnya.
Semua media TV nasional (yang siarannya tertangkap secara luas di Indonesia) memberitakan masalah itu secara gencar dan berulang-ulang, bahkan beberapa televisi tidak hanya memberitakannya tapi juga mengangkatnya sebagai berita utama, lalu mendialogkannya dengan nara sumber hebat bahkan lebih dari sekali.
Saya cukup senang media Televisi mengangkat kasus ini kepermukaan dengan cara mereka (baca cara Televisi) sebagai bentuk kepedulian, keprihatinan. Alhamdulillah pemberitaan yang gencar itu, serta dialog yang dihadirkan membuat beberapa pihak yang tadinya seolah 'tertidur' menjadi terbangun (penulis, penerbit, distibutor, Diknas, sekolah) dan mawas diri, buku yang tadinya mulus beredar hingga ketangan siswa ditarik. Kita sebagai masyarakat awam sedikit paham liku-liku, dan 'enaknya' bisnis buku pelajaran ini, jadi tahu juga bagaimana 'permainan' itu dilakukan dan kira-kira siapa saja yang ikut kena enaknya.
Tapi disatu sisi saya salud pada media televisi, disisi lain saya bertanya-tanya pada beberapa media televisi, yang seolah mendua dalam menyikapi berbagai kasus yang berbeda tapi mungkin dampaknya saya kira sama saja malah bisa dikatergorikan lebih berat dari kasus buku pelajaran.
Bagimana dengan tayangan sinetron yang berisi kekerasan, culas, licik, dengki, korup, perselingkuhan, istri simpanan, mempertontonkan seolah anak-anak SD sudah terbiasa dengan kelompok / geng yang baik dan kelompok / geng jahat, atau seperti adanya anak SD yang digambarkan sudah memanggil 'bos' pada ketuanya yang seolah jahat. Ada juga acara infotaimen yang mempertontonkan seorang ibu artis yang ngamuk pada anaknya yang 'katanya' lupa daratan. Ada juga televisi menyiarkan secara langsung kerusuhan, kekerasan, demontrasi yang anarkis. Apakah Televisi sudah steril dari hal-hal yang ada seperti pada buku pelajaran / LKS sisiwa?.
Contoh-contoh yang kecil ini (masih banyak lagi contohnya) yang memperlihatkan betapa televisi medua. Sikap mendua bisa terjadi karena suatu kasus tidak berkaitan langsung dengan sebuah televisi, artinya tidak memilik aspek ekonomi, sedang sinentron (mungkin juka iklan) memiliki aspek ekonomi sehingga kekerasan, culas, licik, korup, perselingkuhan, istri simpanan, geng di sinetron / infotaimen / berita (TV) 'diabaikan'. Apakah hanya dengan memberitakan sebuah, kekerasan, korup, culas, pembunuhan, perselingkuhan tidak berdampak apa-apa?. apalagi gencar dan disertai gambar.
Televisi kita benar-benar mendua, lagian televisi kita sekarang ini lebih berorientasi kapitalis dan dimiliki para pemilik modal yang kuat secara ekonomi maupun secara politik (dimiliki politisi hebat/pengurus partai). Jadi jangan heranlah kalau mendua, dan 'sedikit' yang benar-benar berpihak kepada rakyat banyak.
Comments