JADI TERINGAT (Ngabung)
Beberapa hari yang lalu, disebuah televisi swasta ditayangkanlah / diliputlah seorang laki-laki pengrajin aren dari pohon aren atau enau. Aku jadi teringat masa-masa kecilku dulu tahun 70-an, Ubakku (bapak) dulu juga seorang pengarajin seperti laki-laki di TV itu. Kalau bahasa Komering Ulu-SUMSEL pekerjaan itu disebut 'ngabung'.
Lelaki di TV itu persis seperti Ubakku dulu lakukan, sebelum ngabung. Ada ritual atau semacam perbuatan khusus yang tak boleh dilewati agar pohon aren itu mengeluarkan air 'kabung' yang deras dan banyak. Tentu tidak semua pohon bisa diambil arennya. Ubakku dulu harus membersihkan dulu pohon itu, lalu dipilihlah tandan muda yang bakal di 'garap'. Sebatang bambu / tangga bambu dipakai untuk mencapai tandan yang dituju, lalu dibersihkan, dipukul-pukul batang tandannya yang sudah dibersihkan itu, kemudian digoyang-goyang selama berhari-hari berturut-turut sambil menembangkan sesuatu. Aku juga tak ingat nama tembangnya. dulu dilarang wanita memanjat atau 'ngabung', mungkin karena tinggi, tangganya terkadang hanya dari sebatang bambu, juga mungkin jika wanita yang melakukan dianggap bisa mengurangi hasil kabung, bakal tak deras, mungkin???!.
Ubakku dulu, pagi-pagi sekali sudah memanjat beberapa pohon aren / enau, untuk mengambil kabung, kalau dulu-dulunya ditampung dengan bambu berukuran besar, tapi sejak ada kaleng besar, bambu itu diganti kaleng 'cap pak tani'. Airnya manis gak sedikit asam, aku dulu suka bantu ubakku / umakku memasak air kabung menjadi tangguli (kental dan warna coklat), tidak kurang 6 jam untuk memasak air kabung menjadi tangguli, hampir seharian dimasak pada kuali besar dengan kayu bakar (terkadang diatas bara apinya dijerang ikan asap atau, pisang sale). Bahkan aku punya pengalaman memilukan, tersiram tangguli yang baru diangkat dari tungku api milik tetangga, tumpahan tangguli panas itu mengenai punggung dan pahaku. Begitu kena tubuhku aku tanpa mikir-mikir langsung lari dan terjun ke sungai karena saking panasnya.
Ubakku dulu, pagi-pagi sekali sudah memanjat beberapa pohon aren / enau, untuk mengambil kabung, kalau dulu-dulunya ditampung dengan bambu berukuran besar, tapi sejak ada kaleng besar, bambu itu diganti kaleng 'cap pak tani'. Airnya manis gak sedikit asam, aku dulu suka bantu ubakku / umakku memasak air kabung menjadi tangguli (kental dan warna coklat), tidak kurang 6 jam untuk memasak air kabung menjadi tangguli, hampir seharian dimasak pada kuali besar dengan kayu bakar (terkadang diatas bara apinya dijerang ikan asap atau, pisang sale). Bahkan aku punya pengalaman memilukan, tersiram tangguli yang baru diangkat dari tungku api milik tetangga, tumpahan tangguli panas itu mengenai punggung dan pahaku. Begitu kena tubuhku aku tanpa mikir-mikir langsung lari dan terjun ke sungai karena saking panasnya.
Pohon aren atau enau ini bermanfaat semua, pohon aren / enau bermanfaat hampir pada setiap bagiannya, Ijuknya untuk sapu, pelepah & daunnya untuk bahan bakar (memasak), daun mudanya untuk membungkus ketupat, lopot dsb, lidinya untuk sapu, buahnya untuk makanan, batang mudanya (yang masih putih) bahan makanan / sayur, batangnya untuk bahan bangunan, airnya untuk diminum, dimasak lalu menjadi gula.
Setiap bagiannya memiliki nama sendiri yang tak melekat nama aren atau enau, simak pisang misalnya buah pisang, batang pisang, daun pisang dsb. Kalau Aren / enau (hanau sebutan Komering) air arennya disebut kabung, kabung yang sudah masak kental seperti coklat disebut tangguli (masih kental dan tidak membatu/keras), Buanya yang sudah tua disebut Kibol, yang masih muda disebut baluluk, sabuk sebutan ijuknya yang halus warna hitam, Kamasi sebutan untuk ijuknya yang keras seperti lidi juga warna hitam. Kalau di daerah , SUMSEL tangguli ini cukup laku dijual untuk pemanis masakan, bubur dan sebagainya, saya tak begitu hafal nama-nama bagian lainnya. Tapi kini semakin sedikit orang kampung kami yang 'ngabung' atau pengrajin aren / enau, karena alasan ekonomi, capek, susah dan hasilnya tak seberapa.
Orang kampung kami orientasinya sudah banyak berubah, duku tertinggal, durian tertinggal, karet dikejar, ikan melimpah, ingat dulu kalau mau masak ikan bisa sambil nunggu masak nasi dan itupun dipilih kalau tak selera. tapi sekarang alat sudah maju dan serakah pakai racun atau pakai setrum. Orang kampung kami maunya cepat berhasil, tak mau susah, tak gigih akibatnya selalu tertinggal dari orang lain, kalau anak mudanya dulu tak mengenal minuman keras / memabukkan kini menjadi biasa ada orang mabuk. Mereka tak sadar kalau sudah tertinggal sangat jauh dari para pendatang / transmigran; rumah mereka gedung mewah, mobil mereka gonta-ganti bahkan kini fortuner mobil para tranmigrasi itu. Sadarkah Orang kampungku soal ini semua. Tulisan ini semoga bermanfaat. Amiiin.
Orang kampung kami orientasinya sudah banyak berubah, duku tertinggal, durian tertinggal, karet dikejar, ikan melimpah, ingat dulu kalau mau masak ikan bisa sambil nunggu masak nasi dan itupun dipilih kalau tak selera. tapi sekarang alat sudah maju dan serakah pakai racun atau pakai setrum. Orang kampung kami maunya cepat berhasil, tak mau susah, tak gigih akibatnya selalu tertinggal dari orang lain, kalau anak mudanya dulu tak mengenal minuman keras / memabukkan kini menjadi biasa ada orang mabuk. Mereka tak sadar kalau sudah tertinggal sangat jauh dari para pendatang / transmigran; rumah mereka gedung mewah, mobil mereka gonta-ganti bahkan kini fortuner mobil para tranmigrasi itu. Sadarkah Orang kampungku soal ini semua. Tulisan ini semoga bermanfaat. Amiiin.
Comments