WASPADALAH KONSUMEN PERUMAHAN
Tulisan ini pernah dimuat di sebuah Koran yang terbit Di Batam.
Sering kita baca, diberbagai media baik terbitan Ibukota maupun terbitan Batam. Keluhan konsumen yang merasa ditipu, dirugikan oleh pengembang perumahan. Jawaban atau klarifikasi dari pihak pengembang atau pihak terkait sering kali merupakan jawaban klise atau bahkan menyalahkan konsumen. Dalam melindungi konsumen perumahan selain hukum administrasi dan perdata sesungguhnya masih ada hukum pidananya, namun hingga kini masih belum optimal. Sementara potensi terjadinya keculasan bahkan tindak kejahatan dibidang ini sangat tinggi. Benarkah konsumen dalam posisi lemah dan selalu kalah??.
Harus bisa dipahami dibidang perumahan ini, banyak sekali pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, maka banyak pula potensi terjadinya keculasan dan kejahatan. Pertama tentu saja sipengembang sebagai pemeran utama dalam membangun perumahan. Kedua pihak bank, sebagai penyalur KPR. Ketiga adalah notaris, sebagai pihak yang menyediakan jasa produk hukum atas transaksi jula beli rumah. Tulisan ini semata-mata hanya mencoba memberikan pemahaman kepada pembaca terutama konsumen, agar lebih berhati-hati, sedang kepada aparat tentu diminta lebih proaktif untuk mencegah tindakan culas atau kejahatan dibidang perumahan ini. Hal-hal berikut merupakan potensi culas itu.
1. Kapling siap bangun
Kondisi seperti ini membuat konsumen berada dalam posisi sangat lemah, bagaimana tidak?. Walaupun tanah sudah dibayar lunas oleh konsumen, akat jual beli tentu saja belum dapat diterbitkan sebelum konsumen membangun dan menyelesaikan rumahnya diatas tanah yang dia beli dan melaporkannya ke pihak pengembang. Biasanya keharusan membangun dibatasi untuk paling lama 2 tahun sejak perjanjian disepakati. Pengembang dalam hal ini telah bertindak seperti spekulan tanah.
Perlakuan pengembang seperti ini jelas melanggar pasal 26 ayat 1 UU No.4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, yang menyebutkan badan usaha bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun, dilarang menjual kapling tanah matang tanpa rumah. Sanksinya pidananya jelas, apabila ada unsur kesengajaan diancam pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau danda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,-. Apabila karena kelalaian, diancam pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Banyak sekali pengembang yang secara terang-terangan mempromosikan hal ini, yang jelas-jelas melanggar hukum, dan sayang belum pernah kita dengar pengembang yang diproses hukum kerana perbuatan penjualan kapling siap bangun.
2. Menjual rumah tanpa izin
Banyak para pengembang sebetulnya baru memegang izin prinsip untuk membangun perumahan. Biasanya pihak bank akan memberikan target tertentu kepada pihak pengembang, tertutama jumlah minimal pembeli yang sudah menyatakan positif untuk membeli yang ditandai dengan setoran uang muka. Bank tidak akan menyalurkan dananya ke pengembang bila target yang disyaratkan tidak dipenuhi. Dalam kondisi seperti ini pengembang tidak akan segan-segan menipu konsumen dengan berbagai dalih supaya konsumen menyegerakan penyetoran uang muka atau memastikan pembeliannya.
Posisi konsumen jelas sangat lemah, uang muka telah dibayarkan, sementara pengembang belum melakukan apapun selain meratakan tanah lokasi pembangunan. Realisasi pembangunan rumah tidak kunjung datang, bahkan ada yang melebihi hitungan tahun. Ketika hal itu ditanyakan oleh konsumen ke pihak pengembang berbagai alasan dibuat-buat bermunculan, padahal sesungguhnya pengembang belum memegang izin atau belum mendapatkan dana segar dari bank. Ketika konsumen ingin membatalkan, ancaman halus maupun kasar kerap menghantui konsumen, contohnya uang muka yang telah disetor akan dipotong. Perbuatan ini jelas tidak ada dasar hukumnya, tapi konsumen ketakutan.
Untuk melindungi konsumen, pengembang sebaiknya berterus terang. Pengembang juga sebenarnya perlu mengumumkan bahwa telah menguasai tanah baik secara fisik maupun yuridis, telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sehingga memberikan kepastian bagi konsumen. Pengembang dalam hal ini dapat dikategorikan melakukani tindakan penipuan.
3. Sertifikat
Banyak konsumen yang sudah mampu melunasi pembelian rumahnya pada pengembang, namun untuk mendapatkan sertifikat secara otomatis sangatlah sulit, padahal sertifikat adalah bukti dokumen kepemilikan rumah. Pengembang selalu memiliki alasan yang dibuat-buat, baik dari segi notarisnya, dari segi pemerintahnya dan banyak lagi. Padahal sesungguhnya banyak pengembang yang belum melakukan pemecahan sertifikat, ya menipu lagi.
4. Fasum
Realisasi fasilitas yang diperjanjikan seringkali menjadi titik rawan, bahkan banyak pula pengembang yang ingkar terhadap janjinya untuk menyediakan fasilitas perumahannya, seperti jalan yang diaspal, listrik PLN, air bersih, taman, mesjid. Bahkan dengan kepintaran pengembang dan ketidaksabaran konsumen, beberapa kasus fasilitas yang seharusnya dibangun dan disediakan oleh pengembang, menjadi tanggungan konsumen dengan diswadayakan. Padahal hal ini jelas merupakan tangungjawab pengembang.
Konsumen dianjurkan untuk tidak buru-buru membuang brosur atau hal-hal lain yang telah diperjanjikan oleh konsumen, jika tidak tertulis, harap mencatatnya secara jelas setelah itu mintalah tandatangan yang memberikan janji tersebut, sehingga dikemudian hari hal-hal tersebut dapat digunakan untuk menuntut pengembang. Beberapa kasus pengembang bermasalah dengan konsumen dapat kita kemukakan disini. Sebuah pengembang di Batam Centre waktu itu mengutip uang pengaspalan jalan ke konsumen, mulai dari dua ratus ribu hingga jutaan rupiah. Pengembang berdalih kami tak mampu mengaspal jalan karena krisis moneter, untungnya konsumen kompak menuntut hingga akhirnya jalan-jalan diperumahan diaspal oleh pengembang.
5. Jual beli tapi rumah belum ada/selesai
Dalam hukum jual beli, salah satu syarat mutlaknya adalah adanya barang yang hendak diperjualbelikan. Di bidang perumahan sudah tentu jika terjadi akad kredit atau transaksi jual beli rumah, rumahnya harus sudah ada/selesai dibangun.
Tindakan menjual atau melakukan transaksi akad kredit penjualan rumah, seperti hal tersebut diatas seharusnya batal. Konsumen jelas dalam posisi sangat lemah manakala objek jual beli berupa tanah dan atau bangunan terbengkalai, tidak jadi dibangun atau tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Jika itu terjadi maka konsumen pasti kalah karena telah menandatangani surat jual beli. Konsumen memang selalu dalam posisi dilemahkan, pengembang berdalih jika tidak sekarang akad kreditnya bulan depan harga sudah naik atau bunga yang ditentukan oleh pihak bank menjadi sangat besar.
6. Bank
Sembilanpuluh persen pembelian rumah di Indonesia dilakukan dengan menggunakan fasilitas KPR. Keterlibatan bank dalam hal proses jula beli rumah sangatlah tinggi, ketika terjadi masalah antara konsumen dengan pengembang yang sulit diselesaikan. Konsumen cendrung meminta tanggungjawab pihak bank, tapi pihak bank biasanya akan mengelak untuk turut bertanggungjawab. Bank akan mulai turut campur bila mayoritas konsumen menunda secara serenta angsuran mereka.
Bankpun sebenarnya ikut menambah permasalahan konsumen. Bagaimana mungkin bank milik pemerintah ikut menyusahkan konsumen dengan menyetujui akad kredit/jual beli rumah padahal rumah sebagai objek belum selesai dibangun. Konsumen menanggung masalah baru, rumah yang dibeli belum bisa ditempati bahkan terkadang belum selesai, angsurannya sudah berjalan, rumah yang dikontrak/disewa juga harus dibayar. Kondisi seperti ini cendrung dimanfaatkan kontraktor bersama pengembang untuk mengerjakan rumah seadanya.
Hal-hal diatas paling banyak merugikan konsumen yang perlindungan hukumnya tidak kuat bahkan cendrung diabaikan. Untuk itu upaya-upaya melindungi konsumen perlu diperhatikan baik oleh pihak pembuat undang-undang / perda, juga oleh pihak kepolisian. Harapan penulis para konsumen dan calon konsumen selesai membaca tulisan ini dapat lebih berhati-hati sehingga tidak merugikan anda. http://www.bux4ad.com/aft/a7c64554.html/
Comments