TIDAK MENJUAL GENGSI DAN STATUS
Beberapa malam yang lalu saya dan istriku menghadiri pesta pernikahan, saudara jauh sekampung (mempelai wanita). Siangnya saya ditelpon saudara untuk dapat hadir dalam acara itu, tak pakai undangan tertulis. Tempatnya di Tanjung Uma (tempat mempelai pria). Tanjung Uma sebuah kampung nelayan-salah satu kampung melayu asli Batam. Sebelum tahun 2000 Tanjung Uma ini sebuah kampung yang masih sepi, penduduk dan rumahnya masih sedikit dan masih alami. Namun kini sudah sangat padat luar biasa, tidak teratur lagi, kendaraan hanya bisa sampai pada lokasi tertentu, hiruk pikuk warga disana begitu terasa dari anak-anak hingga yang sudah tua dan disana benar-benar bercampur antara rumah mewah dan rumah sangat sederhana. Aku minta berangkat bersama-sama dengan saudara yang nelpon itu karena tempatnya tidak saya ketahui.
Sampai di Tanjung Uma jalannya turun naik, berliku-liku, sempit, sehingga memarkir kendaraan begitu repotnya berpasir dan harus berjalan kaki beberapa meter lalu jalan setelah tanah/semen dilanjutkan dengan jembatan kayu dibawahnya air laut, tanpa penerangan jalan, barulah sampai di tempat acara sakral itu. Biasalah..begitu sampai langsung disodori piring, sendok dan tissu, lalu kamipun mengambil nasi yang disediakan dan mengambil lauk pauk secukupnya….he..he berapa ya cukupnya tergantung selera dan kemampuan perut he..he lagi, setelah tu siap makan pulang (SMP).
Ada kesan dan pesan yang begitu dalam yang saya tangkap ketika melihat acara itu-mohon maaf tidak bermaksud buruk. Batapa pesta itu memang disiapkan untuk seperti pesannya agama Islam. Acara itu berbentuk upaya memberitahukan kepada handaitolan, kerabat rasa syukur dan rasa bahagia secara sederhana, tidak dipaksakan. Pesta itu tidak ‘menjual’ gengsi, tidak ‘menjual status, tidak pula bermaksud ‘membisniskan acara’, sehingga setelah acara selesai tidak mementingkan perhitungan-perhitungan jumlah amplop, jumlah dana yang masuk. Acara itu murni acara pernikahan dan rasa syukur, apa adanya, sang Bapak pangantin pria hanya memakai sandal jepit yang sudah tua dan warna hijaunya yang sudah kehitaman, sang Ibu pengantin pria juga berpakaian sederhana (ah kok tega-teganya memperhatikan sampai segitu, maaf ya..).
Namun semua itu tidak mengurangi kebahagian kedua mempelai, apalagi pengantin pria senyum teruuus, entah apa yang dibayangkannya???? MUPENG (muka pengen) kali. Para undangan yang datangpun tidak direpotkan oleh pakaian yang harus dikenakan dan jumlah kado yang akan diberikan. Na.. itulah pesan pesta pernikahannya ala orang sederhana (maaf tak berpunya)…mereka begitu menikmatinya tanpa beban. Saya sangat merasakannya secara mendalam karena saya keturunan dari bapak dan ibu petani miskin, dengan keluarga banyak. Jadi ingat cerita berikut. Suatu hari, Polo yang menjadi pesakitan dituduh telah memperkosa Melati.
Hakim:“Benar saudara telah memperkosa, sebanyak lima kali”.
Polo: “Tidak benar, Pak Hakim, saya memperkosa yang perdana saja”.
Hakim: “Yang benaaar!!, saudara jangan berbohong disini, nanti hukumannya tambah berat”. Polo:”Benar Pak Hakim, selanjutnya cuma isi ulang”. Sambil cengengesan (kebelet nikah atau kawin seeh ni orang).
Coba bayangkan sebuah pesta pernikahan mereka yang dianggap ‘punya’ dari segi status sosial, pangkat dan jabatan, karena cap ‘punya’ pesta pernikahan menjadi ajang gengsi dan martabat, sehingga mereka sungguh dipusing agar semua rangkaian acara pernikahan itu unik, mewah dan mengesankan semua orang. Pusing mengemas acara pernikahannya, photo pra weddingnya, bentuk undangan, jumlah undangan dan siapa yang harus diundang, tempatnya (Hotel, aula, tanah lapang), gaunnya (termasuk berapa jumlah serta warnanya-yang bahannya cukup atau yang gak cukup-maksudnya belahan dadanya menonjol & punggungnya terbuka lebar), menu makanannya hingga kebun buah-buahan yang dipindahkan ke tempat acara, penerima tamu, pengiring pengantin, MC, Band/musik (organ tunggal, grup band, band tampar/tabok/rebana). Sehingga maksud utama acara pernikahan/walimah menjadi terpinggirkan dan yang tampil ditengah-tengah adalah gengsi dan atau . Malu,..ya serba malulah/gengsilah. Begitulah terkadang menjadi orang tak punya juga nikmat & tak pusing, bersyukurlah.
Sampai di Tanjung Uma jalannya turun naik, berliku-liku, sempit, sehingga memarkir kendaraan begitu repotnya berpasir dan harus berjalan kaki beberapa meter lalu jalan setelah tanah/semen dilanjutkan dengan jembatan kayu dibawahnya air laut, tanpa penerangan jalan, barulah sampai di tempat acara sakral itu. Biasalah..begitu sampai langsung disodori piring, sendok dan tissu, lalu kamipun mengambil nasi yang disediakan dan mengambil lauk pauk secukupnya….he..he berapa ya cukupnya tergantung selera dan kemampuan perut he..he lagi, setelah tu siap makan pulang (SMP).
Ada kesan dan pesan yang begitu dalam yang saya tangkap ketika melihat acara itu-mohon maaf tidak bermaksud buruk. Batapa pesta itu memang disiapkan untuk seperti pesannya agama Islam. Acara itu berbentuk upaya memberitahukan kepada handaitolan, kerabat rasa syukur dan rasa bahagia secara sederhana, tidak dipaksakan. Pesta itu tidak ‘menjual’ gengsi, tidak ‘menjual status, tidak pula bermaksud ‘membisniskan acara’, sehingga setelah acara selesai tidak mementingkan perhitungan-perhitungan jumlah amplop, jumlah dana yang masuk. Acara itu murni acara pernikahan dan rasa syukur, apa adanya, sang Bapak pangantin pria hanya memakai sandal jepit yang sudah tua dan warna hijaunya yang sudah kehitaman, sang Ibu pengantin pria juga berpakaian sederhana (ah kok tega-teganya memperhatikan sampai segitu, maaf ya..).
Namun semua itu tidak mengurangi kebahagian kedua mempelai, apalagi pengantin pria senyum teruuus, entah apa yang dibayangkannya???? MUPENG (muka pengen) kali. Para undangan yang datangpun tidak direpotkan oleh pakaian yang harus dikenakan dan jumlah kado yang akan diberikan. Na.. itulah pesan pesta pernikahannya ala orang sederhana (maaf tak berpunya)…mereka begitu menikmatinya tanpa beban. Saya sangat merasakannya secara mendalam karena saya keturunan dari bapak dan ibu petani miskin, dengan keluarga banyak. Jadi ingat cerita berikut. Suatu hari, Polo yang menjadi pesakitan dituduh telah memperkosa Melati.
Hakim:“Benar saudara telah memperkosa, sebanyak lima kali”.
Polo: “Tidak benar, Pak Hakim, saya memperkosa yang perdana saja”.
Hakim: “Yang benaaar!!, saudara jangan berbohong disini, nanti hukumannya tambah berat”. Polo:”Benar Pak Hakim, selanjutnya cuma isi ulang”. Sambil cengengesan (kebelet nikah atau kawin seeh ni orang).
Coba bayangkan sebuah pesta pernikahan mereka yang dianggap ‘punya’ dari segi status sosial, pangkat dan jabatan, karena cap ‘punya’ pesta pernikahan menjadi ajang gengsi dan martabat, sehingga mereka sungguh dipusing agar semua rangkaian acara pernikahan itu unik, mewah dan mengesankan semua orang. Pusing mengemas acara pernikahannya, photo pra weddingnya, bentuk undangan, jumlah undangan dan siapa yang harus diundang, tempatnya (Hotel, aula, tanah lapang), gaunnya (termasuk berapa jumlah serta warnanya-yang bahannya cukup atau yang gak cukup-maksudnya belahan dadanya menonjol & punggungnya terbuka lebar), menu makanannya hingga kebun buah-buahan yang dipindahkan ke tempat acara, penerima tamu, pengiring pengantin, MC, Band/musik (organ tunggal, grup band, band tampar/tabok/rebana). Sehingga maksud utama acara pernikahan/walimah menjadi terpinggirkan dan yang tampil ditengah-tengah adalah gengsi dan atau . Malu,..ya serba malulah/gengsilah. Begitulah terkadang menjadi orang tak punya juga nikmat & tak pusing, bersyukurlah.
Comments