BERBUKA PUASA DI HOTEL, KURANG HIKMAD.
Sabtu tanggal 14 Agustus 2010 yang lalu, departemen HRD dan Administrasi tempatku bekerja mengadakan berbuka puasa di Novotel. Ini kebiasaan lama, masing-masing departemen diminta mengadakan dan mengatur hal serupa dengan dana yang sudah ditetapkan oleh perusahaan. Salah hal yang patut diacungi jempol, karena tujuannya baik salah satunya adalah untuk mencairkan hubungan yang hari-hari disibukkan pekerjaan, maka dengan berbuka puasa bersama tersebut diharapkan lebih santai dan semakin akrab satu sama lain. Berbuka dihotel tentulah sangat berbeda jika berbuka dirumah atau yang diselengarakan oleh kelompok ta’lim, kenapa berbeda?. Dihotel sangat terasa mewah, gengsi dan eksklusif, menu makanannya juga sangat bervariasi dan dengan tampilan yang juga menarik, para pengunjung benar-benar dilayani oleh hotel dengan baik. Maklum mereka sedang “menjual” sehingga tidak ingin pengunjung hotelnya kecewa. Berkah ramadhan tidak saja dirasakan oleh orang beriman yang berpuasa, namun semua suku, golongan dan semua agama, pengusaha dadakan, pengusaha kecil, maupun pengusaha besar seperti hotel. Namun kemewahan dan layanan yang maksimal itu, tidaklah hikmad, karena kita datang hanya untuk membatalkan puasa. Hotel tidak menyediakan penceramah, hotel tidak menyediakan imam untuk memimpin sholat berjamaah, atau minimal menyediakan sorang pemimpin doa untuk membatalkan puasa. Saya perhatikan yang menyegerakan sholat dan melaksanakan sholat, malah lebih sedikit dari yang tidak sholat, entah sholat dimana mereka atau mereka bukanlah seorang muslim, bahkan saya perhatikan ada sekelompok warga keturunan China dan sekelompok wanita-wanita berpakaian mewah, minimalis nan seksi (bahannya tak cukup kata penjahit) yang tetap sibuk mengobrol dimeja makan masing-masing hingga mendekati waktu Isya tiba. Lalu disudut lain terdapat sekelompok anak dan para orangtua masing-masing yang sedang merayakan Hari lahir seseorang, karena tak lama setelah berbuka terdengar nyanyian Ulang tahun bergema. Jadi wajar kalau hotel tidak perlu menyediakan penceramah, imam atau minimal menunjuk seseorang untuk memimpin doa membatalkan puasa. Bagi hotel hal-hal itu tak penting, karena tujuan “menjual” bukanlah seberapa banyak yang puasa untuk membatalkan puasa disana, tapi seberapa banyak pengunjung yang akan makan disana, tidak peduli apakah mereka puasa atau tidak, semua golongan, semua agama diharapkan hadir disana. Nuansa dan tataletak serta interiornya memang berkesan Islam sedikit, tak perlu menyusun tujuan tercapainya syiar agama. Kalau terlalu menyolok suasana keislamannya, mungkin bisa mengganggu, misalnya ditinggal pelanggan, maklum masih “phobia Islam?”. Saya tetaplah orang konservatf dalam hal ini walau saya menganggap Islam saya sedang-sedang saja. Maksudnya yang ada dalam fikiran saya yang namanya berbuka itu ada ceramah/pencerahan iman, doa bersama dan sholat berjamaah. Berbuka di hotel, datang cuma untuk membatalkan puasa lalu seperti SMP (siap makan pulang), memang terasa gengsi dan eksklusif namun hambar. Berkah ramadhan ternyata ditangkap pihak lain untuk memanfaatkan Islam hanya untuk mengambil keuntungan secara finasial yang mencolok, seharusnya kita menyadarinya. Makanya berbuka puasa bersama di hotel tidaklah hikmad dan tidak akan ada syiar agamanya disana. Rupanya Islam hanya dipakai jika menguntungkan, jika tidak menguntungkan secara nyata/fisik maka akan dicampakkan. Berbuka bersama di Mesjid kini malah dipandang sebelah mata, anehkan?.
Comments