INILAH POTRET KITA?.
Kemaren tanggal 18 Nepember 2011, saya mendapat cerita yang sebetulnya tidak unik tapi menggugah hati saya untuk menulisnya dan dibagi ke orang banyak, semoga bermanfaat.
Cerita pertama tentang sebuah program bantuan pemerintah yang bernama PNPM mandiri perkotaan Batam (ini program pengentasan keminskinan dari pemerintah). Ketika saya menunggu anakku yang kedua pulang disekolahnya. Saya lalu menghampiri seorang ibu penjual mie instan. Sebuah gerobak mini menempel diatas sepeda motornya yang berlogo pnpm mandiri perkotaan. Dengan cekatan dan ramah ibu itu melayani anak-anak SD yang memesan setiap mie yang mereka inginkan. Bisa mie goreng, mie kuah, cukup diseduh dengan air panas yang mendidih diatas gerobaknya. Sambil melayani anak-anak saya lalu bertanya-tanya kepadanya, tentu saja percakapan itu sudah saya edit.
"Bu, berapa modal yang ibu butuhkan untuk semua ini (gerobak, kompor dan asesorisnya)?".
"Satu juta pak, tapi saya cuma menerima Rp 900.000 aja".
"Loh, terus yang seratus kemana?".
"Dipotong sama pengurus, katanya untuk biaya administrasi".
"Tapi, ibu dikasih tanda buktikan?".
"Ya tidak!, nantipun saya harus tetap mengembalikan satu juta".
"Ibu tidak tanyakan atau minta kwitansi?".
"La..tidak apa-apalah pak...ini masih lumayan dari pada yang sama rentenir, yang biasanya kalo kita pinjam Rp 1.500.000,-, maka langsung dipotong administrasi sekitar 3 ratus ribu sampai 5 ratus ribu. Terus kita tetap wajib mengembalikan sebanyak satu juta limaratus ribu".
Inilah potret orang miskin yang serba kesulitan, ingin mandiri untuk memperbaiki kehidupan saja masih sulit dan uang bantuan masih disunat. Ketidakberdayaan orang kecil, orang pinggiran, orang miskin hampir selalu menjadi bulan-bulanan, sehingga mereka tidak pernah benar-benar bisa mandiri. Inilah Potret kita.
Cerita kedua, setelah mengantar anakku pulang kerumah. Aku dan istriku sorenya singgah dipersimpangan (bisanya disebut simpang kara) disitu banyak penjual yang menjual penganan seperti martabak manis dan telur, gorengan, sate, bandrek dan seterusnya. Disamping para penjual itu terdapat pos polisi. Lagi-lagi saya mencoba ngobrol dengan penjual, dan percakapan inipun saya sudah edit dan dipersingkat.
"Mas, gorengannya banyak betul, berapa kilo ya perharinya?".
"Sekitar 50 kilo"
"Setiap harinya habis ya?".
"Ya kadang habis, kadang tidak, ya kalo sisapun paling dikit".
"Terus dibawa kemana yang habis itu". Mungkin yang jual, mikir terserah gue dong, mau dibawa kemana.
"Ya kadang kami makan, kadang dibagi ke kawan-kawan"
"Mas, kasih kepengurus mesjid aja, kan berpahala".
"Wah, mana ada pengurus mesjid jam 12 malam".
"Lebih berpahala, kasih pengurus mesjid sekarang, mas". Ujar istri saya.
"Terus ini sewa tempat?, dan listriknya dari mana".
"Tempat tidak sewa, cuma ada uang keamanan, kalo listriknya dari itu" sambil menunjuk pos polisi.
"Berapa perbulannya?".
"Permalam sepuluh ribu".
"Wah lumayan...ya, berapa pedagang yang mengambil aliran listrik dari pos itu".
"Ya bapak itung saja". Ternyata cukup banyak, berderet para penjual dan kios-kios kecil.
Saya ceritakan hal ini, karena sungguh bertolak belakang dengan cerita yang saya alami sendiri. Beberapa bulan lalu ada seorang warga meminta listrik dialirkan ke rumahnya dan beberapa rumah yang lain. Didekat rumah saya banyak rumah-rumah liar. Katanya mereka akan mengerjakan dan menanggung semua pengeluaran, untuk ongkos perbulannya terserah bapak. Saya jelaskan PLN melarang itu, tidak boleh nanti saya masuk penjara dan lsitrik dirumah saya bisa diputus.
Lalu katanya, kenapa yang di toko-toko, mini market, pos polis bisa pak. Wah kalao itu saya tidak tahu dan kalau tak percaya, nanti kita tanyakan ke PLN langsung. Benar saja, seorang petugas PLN menunjukkan pasal-pasal pidana bagi yang mengalirkan dan atau menjual/mengkomersilkan listrik milik PLN tanpa izin PLN.
Apa yang bertolak belakang, saya tanyakan baik-baik ke PLN malah kita dikeluarkan pasal ancaman-ancaman pidana. Na..yang tidak lapor tapi dihadapan / terlihat oleh petugas PLN dan Penegak Hukum (POLISI), malah aturan dan hukum tak berjalan. Inilah Potret kita.
Comments