HIDUP YANG MENGESANKAN.
Pulkam.
Tiba-tiba Hpku berdering, tentu saja aku angkat karena yang nelepon itu, aku memanggilnya Kak (adat komering laki-laki lebih tua dari kita dipanggil Kakak), tidak bersudara dekat tapi karena sesama kampung dan bila diurut-urutkan masih ada kaitan keluarga tapi sudah jauh sekali. Tentu saja percakapan kami melalui HP itu menggunakan bahasa ibuku yaitu bahasa Komering.
“Bi, Aku mau pulang kampung”.
“Tanggal berapa?”. Ujarku.
“Tanggal 5 September 2010, aku mau lebaran didusun dulu, dah lama aku tak balik”
“Orang kita siapa aja yang balik”
“Kayaknya tak adat, apa ada yang mau dititip?”.
“Mmm…..yang jelas titip salamlah”. Mungkin karena kedua ORTU sudah tak ada lagi dan saudara juga tak ada yang dikampung, makanya aku bingung, mau nitip apa.
“Ha..haa.hha” tertawa ngakak, karena mudah dan tidak termasuk titipan/ole-ole pulang kampung.
Kakak yang baru saja nelepon aku ini, sudah lama juga menetap di Batam, umurnya yang sedikit lagi memasuki kepala 6 hingga kini masih membujang (mungkin anda masih ingat dalam tulisan (blog) saya terdahulu yang berjudul ‘Cinta Tidak Pernah Benar-Benar Buta’. Kakak satu ini inspirasi dalam tulisan itu. Dia bukan tidak memiliki rasa cinta, dia pernah jatuh cinta (bahkan mungkin terlalu sering), tapi bertepuk sebelah tangan, dia pernah disukai tapi dia tak menyukai. Aku yakin waktu masih mudanya ia cukup berani menghadapi wanita, mungkin kegagalan berulang-ulang yang dialaminya. Pada usia itu laki-laki cendrung ego meningkat, rasa cintanya tipis dan sulit sekali belajar untuk “saling”-memahami, berkorban, jujur, iklas, komunikasi, membutuhkan/melengkapi, saling memberi dengan lawan jenisnya (ini dalam hal Cinta saja), karena obsesi hidupnya semakin berkurang.
Kelemahan dia salah satunya adalah tidak mampu memilih dan menetapkan hati serta jiwa pada seseorang.. Aku bahkan pernah bicara empat mata (6 tahun lalu), waktu itu ada kabar dia menyukai / dekat dengan seseorang. Katakan padaku jika ada wanita yang kakak suka di Bintan / di Batam, biar aku yang melamarkan (gayanya..aku), atau jika ada di Palembang / di dusun katakan juga biar ku telponkan keluarga kita disana. Aku Cuma mencoba membantu dan menggugurkan kewajibanku sebagai orang Islam. Namun usahaku gagal, hingga kini ia masih membujang, sungguh kasihan dia. Sekarang ia begitu grogi, sulit, sensitif dan tertutup jika berbicara tentang cinta dan nikah, maklum mugkin pernah sakit hati dan kecewa berat. Dikampungku waktu itu, tamat SMP banyak yang sudah menikah.
Kembali ke cerita PULKAM, malamnya aku bersama anakku yang kedua berangkat ke tempat Kakakku itu menitipkan ole-ole, untuk seorang Famili di kampung. Baju untuk orang dikampungku sudah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan mewah. Di Kota mungkin kita pakai sebagai pakaian sehari-hari tapi disana bisa mereka pakai sebagai pakaian untuk ke menghadiri syukuran pernikahan atau bahkan untuk berlebaran. Dikampung itu masih banyak orang yang berfikir berulang-ulang untuk membeli pakaian, kalau masih bisa ditambal ya ditambal.
Jadi ingat masa kecil dikampung zaman paceklik dulu, betapa kesulitan, kemiskinan menjadi pemandangan dan kegiatan sehari-hari, celanaku bolak-balik ditambal mamakku. Syukur alhamdulillah kesulitan dan kemiskinan itu, mengajarkan banyak hal. Bapak dan ibuku mengajari kami ber-7 saudara, mengenal Allah SWT, kesederhanaan, keprihatinan, kemandirian, kepedulian, belajar menerima apa adanya dan tak boleh mudah putus asa pada keadaan. Bapakku itu dari 10 bersaudara yang paling miskin dan paling sulit kehidupannya, rumah panggung berdinding dan berlantai bambu. Alhamdulillah Allah maha adil, kehidupan anak-anaknya mapan semua, untuk tidak mengatakan sangat kaya, minimal lebih baik dari kedua orangtua kami, lumayanlah.
Aku masih ingat ketika klas IV SD aku sudah diberi tugas masak nasi dengan kayu bakar (tidak mudah karena bisa hangus), airnya sekali-sekali diperbanyak untuk diminum air tajinnya dan waktu itu air tajin yang diberi gula sungguh terasa hebat, aku benar-benar suka. Tugasku yang lain memeriksa minyak dan menghidupkan lampu teplok (pelita), tak ada listrik, kalau ada acara atau abang / kakakku pulang dari rantau penerangannya yang hebat waktu itu lampu petromak. Sementara abangku no.6 (klas VI) yang memasak sayurannya, dan bersih-bersih rumah, harus bisa karena keadaan, saudara-saudaraku no.1-5 sudah merantau semua. Bapak sama Mamak kami berjibaku dikebun / disawah sampai menjelang maghrib. Satu sama lain saling menopang, maka abangku yang tertua ketika diterima di PT ARUN LNG-Lhokseumawe, memboyong abangku no. 6 sampai kini masih di PT. Pupuk Iskandar Muda Aceh dan aku kesana untuk disekolahkan, aku baru naik ke klas V SD ketika itu (anak bungsu yang tidak dimanja). Kalau abangku tak memboyongku ke Aceh dulu mungkin kehidupanku tidak seperti sekarang dan tidak ketemu dengan orang-orang hebat.
Kalau ingat kampung tentu saja selalu mengingatkan pada masa kecil yang penuh kesulitan dan keprihatinan yang sama sekali tak perlu di sesali karena semua itu warna kehidupan yang sangat bermanfaat dan mengesankan. Jadilah aku menitip pakaian untuk mereka, karena menurutku sangat bermanfaat, lagian itu sebagai tanda ingat dan pengikat silaturrahim (banyak cara untuk tetap bersilaturrahim), dan tentu mereka secara tak langsung akan memanjatkan doa-doa kebaikan. Semoga Bermanfaat.
Comments