BANGGA DENGAN PEMANDANGAN KAMPUNG (AN)
Hari Sabtu tanggal 16 Mei 2009 yang lalu saya jalan-jalan ke sebuah Mall paling terkenal saat ini, di daerah Nagoya-Batam. Ketika saya bersama istri dan anak sedang santai berjalan melintasi sebuah ruang pamer sebuah perumahan, tiba-tiba seorang wanita menyodorkan brosur perumahannya, dan langsung nyerocos.
“Pak ini adalah sebuah perumahan yang sangat menarik, nyaman dan pasti akan menguntungkan bagi bapak”
“Kenapa begitu, apa bedanya dengan yang lain”
“Perumahan ini satu-satunya yang begitu bagus pemandangannya”
“Masak?!”
“Iya,…begitu bapak membuka jendela, bapak langsung melihat Singapura begitu dekat, jelas dan indah”.
“Kenapa.. harus bangga dengan pemandangan Singapura, memangnya ada apa dengan Singapura, apa yang bisa saya dapat dengan pemandangan itu”. Siwanita terdiam sejenak, mendengarkan kalimat saya, tapi yang namanya tenaga penjual tidak boleh gelagapan, ragu dan kalah dengan orang yang sedang dihadapinya.
“Mungkin bapak, sering ke Singapura”
“Karena tugas, bukan plesiran”
“Tapi gak salahkan, kalau bapak memilih perumahan kami untuk berinvestasi”
“Saya ini orang kampung.., dari desa, saya rindu dengan suasana dan pemandangan pedesaan, seperti pemandangan, sungai, sawah”. Si wanita kembali terdiam sejenak, saya spontan saja mengucapkan kalimat itu.
“Fasilitas sosialnya juga lengkap, bahkan di depan perumahan kami terdapat sekolah lengkap dan terpadu dari tingkat ’playgroup’ hingga setingkat SMA”. Saya dan istri kemudian melangkah untuk meninggalkan wanita itu, namun siwanita tetap tak mau kehilangan jejak saya, lalu meminta nama dan nomor yang bisa dihubungi.
Apa yang mengusik saya atas peristiwa yang benar-benar terjadi itu. Saya menangkap kesan bahwa fikiran kita sengaja ditanamkan bahwa singapura itu serba “wah” dan lebih baik dari kita, sehingga untuk menjual perumahan saja yang ditonjolkan adalah pemandangan ke Singapura dengan gedung-gedung bertingkat yang banyak dan menjulang tinggi. Satu bukti juga, masih banyak diantara kita yang bangga dengan hal-hal yang bersifat serba luar negeri, mungkin itulah salah satu kesalahan kita dan itu ditangkap Singapura sebagai peluang. Satu kenyataan pengunjung terbesar negara Singapura dalam beberapa tahun kebelakang adalah orang Indonesia.
Saya asli orang dari kampung yang benar-benar jauh dari suasana perkotaan. Tidak ada listrik, tidak ada air bersih (PAM), tidak ada jalan aspal. Sudah 32 tahun saya meninggalkan desa saya, namun entah kenapa hingga kini saya masih menyukai suasana pedesaan bahkan saya memimpikan punya rumah dipinggir sungai yang airnya bening, berbatuan dan dangkal. Hal itu suka saya kemukankan kepada istri dan anak-anak saya. Makanya ketika berbicara sama si wanita itu saya spontan saja berucap pemandangan pedesaan yang menurut saya lebih indah, lebih eksotis dan benar-benar mengundang untuk terus menikmatinya. Saya bangga dengan pemandangan kampung.
Betapa terkadang kita tanpa bermaksud sengaja, telah meremehkan/tidak menghargai bangsa sendiri. Bangsa ini dalam serba kekurangannya kita akui namun tetaplah negaraku, bangsaku, tanah airku yang patut kita banggai dan hargai. Saya akui, dalam beberapa hal saya kerap juga kecewa, misalnya kenapa pemerintah tak tegas terhadap infotainment (baca acara gossip di televisi), pengguna/pengedar narkoba, koruptor, tentu itu semua karena tidak ada ketegasan dan karena hukumannya membuat orang tertawa. Tapi saya tetap bangga dengan Indonesiaku. Semoga bermanfaat.
Kolubi Arman
Comments