Pilih Presiden
(Jangan asal pilih)
Sejak tumbangnya era Suharto dan munculnya era reformasi sangat dimungkinkan siapapun, dapat mencalonkan diri menjadi Presiden. Ketika pemilu legislatif usai dan sejak itu pula semakin kencang gaung pembicaraan tentang presiden. Ada yang mempersoalkan siapa yang paling pantas / kredibel untuk menjadi presiden Indonesia berikutnya. Jawabannya sangat tergantung siapa kita dan cendrung subyektif, karena jawaban kita akan sangat dipengaruhi alam emosi dan rasa suka dan tak suka kita terhadap calon presiden tertentu.
Namun ada pula yang mempersoalkan syarat minimal untuk menjadi presiden. Padahal bila sudah berbicara syarat maka segera memasuki wilayah diskriminasi dan wilayah adil tak adil. Karena syarat selalu berbicara batasan / ukuran minimal. Bagaimana bila umur minimum tidak ditentukan apakah semua orang bisa mencalonkan diri.
Kembali ke persoalan siapakah yang pantas menjadi presiden, militer atau sipil?. Wacana yang berkembang dan analisis para pakar cendrung bertindak atas nama siapa saya dan pro ke siapa, sehingga cendrung subyektif dan mengabaikan faktor lain dari seorang calon presiden; semisal, tindakan, pendidikan, kemitmen, mampu atau tak mampu, bersih dari KKN atau tidak, keberpihakan pada rakyat atau tidak dan sebagainya. Kesimpulan yang dibuatpun cendrung dilakukan secara zigzag dan lompat-lompat logika akibatnya tak lengkap dan terlalu sederhana. Padahal seharusnya kita sudah harus belajar memilih seorang Presiden atau pemimpin kita kerena faktor nyata yang melekat pada seseorang, misal program, visi dan misinya, jejak rekamnya yang baik.
Tidak ada jaminan bahwa militer lebih baik dari sipil begitu sebaliknya, teknokrat atau akademisi. Bahkan beberapa pengalaman menunjukkan. Kalangan militer sering gagal dalam mencapai pembaharuan ekonomi dan keadilan sosial. Kalangan sipil yang bertindak mematikan demokrasi adalah Hitler dan F. Marcos dari Philipina. Namun kita tentu memiliki kesempatan untuk membaca dan meneliti secara seksama setiap Calon Presiden kita.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat karena kemampuan intelektualitasnya yang visioner bukan kekuatan otot. Bersih, jujur, sopan santun dan berwibawa juga belum cukup tanpa keberanian. Ada semacam gejala banyak partai semakin membuat carut marut, atau bahkan berujung “tawar menawar” karena adu kekuatan, tanpa kekuatan Presiden bisa dikerjain.
Kolubi Arman.
Sejak tumbangnya era Suharto dan munculnya era reformasi sangat dimungkinkan siapapun, dapat mencalonkan diri menjadi Presiden. Ketika pemilu legislatif usai dan sejak itu pula semakin kencang gaung pembicaraan tentang presiden. Ada yang mempersoalkan siapa yang paling pantas / kredibel untuk menjadi presiden Indonesia berikutnya. Jawabannya sangat tergantung siapa kita dan cendrung subyektif, karena jawaban kita akan sangat dipengaruhi alam emosi dan rasa suka dan tak suka kita terhadap calon presiden tertentu.
Namun ada pula yang mempersoalkan syarat minimal untuk menjadi presiden. Padahal bila sudah berbicara syarat maka segera memasuki wilayah diskriminasi dan wilayah adil tak adil. Karena syarat selalu berbicara batasan / ukuran minimal. Bagaimana bila umur minimum tidak ditentukan apakah semua orang bisa mencalonkan diri.
Kembali ke persoalan siapakah yang pantas menjadi presiden, militer atau sipil?. Wacana yang berkembang dan analisis para pakar cendrung bertindak atas nama siapa saya dan pro ke siapa, sehingga cendrung subyektif dan mengabaikan faktor lain dari seorang calon presiden; semisal, tindakan, pendidikan, kemitmen, mampu atau tak mampu, bersih dari KKN atau tidak, keberpihakan pada rakyat atau tidak dan sebagainya. Kesimpulan yang dibuatpun cendrung dilakukan secara zigzag dan lompat-lompat logika akibatnya tak lengkap dan terlalu sederhana. Padahal seharusnya kita sudah harus belajar memilih seorang Presiden atau pemimpin kita kerena faktor nyata yang melekat pada seseorang, misal program, visi dan misinya, jejak rekamnya yang baik.
Tidak ada jaminan bahwa militer lebih baik dari sipil begitu sebaliknya, teknokrat atau akademisi. Bahkan beberapa pengalaman menunjukkan. Kalangan militer sering gagal dalam mencapai pembaharuan ekonomi dan keadilan sosial. Kalangan sipil yang bertindak mematikan demokrasi adalah Hitler dan F. Marcos dari Philipina. Namun kita tentu memiliki kesempatan untuk membaca dan meneliti secara seksama setiap Calon Presiden kita.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat karena kemampuan intelektualitasnya yang visioner bukan kekuatan otot. Bersih, jujur, sopan santun dan berwibawa juga belum cukup tanpa keberanian. Ada semacam gejala banyak partai semakin membuat carut marut, atau bahkan berujung “tawar menawar” karena adu kekuatan, tanpa kekuatan Presiden bisa dikerjain.
Kolubi Arman.
Comments