Lelaki Tua, Buta Huruf, Sebatangkara ini Membutuhkan Bantuan.
Sejak sekitar enam bulan lalu saya memperhatikan lelaki tua itu. Disetiap pagi setelah waktu subuh ia sudah terlihat dibawah pohon seri. Siang, sore bahkan hingga malam hari ia hanya duduk tanpa ekspresi sambil memperhatikan orang atau kendaraan lewat dihadapannya. Jalan itu serba salah pula kalau panas berdebu dan kalau hujan becek, saban hari kendaraan berat melintas dan truk lalu-lalang membawa tanah yang memperparah kebersihan jalan, kondisi jalan, dan kebersihan udara.
Disetiap saya melewati jalan itu, selalu mencoba memperhatikannya karena rasa penasaranku, mengapa ia hanya duduk saja disepanjang hari. Rasa penasaran itu semakin memuncak sejak bulan Juni lalu dan saya merencanakan untuk mengajaknya berbincang oleh sebab itu hampir disetiap melintas dijalan itu saya berusaha selalu menegurnya, minimal memberikan senyuman kepadanya dengan harapan supaya ketika berbincang langsung dengannya bisa lebih mudah dan lelaki itu sudah mengingatku. Saya juga sedikit demi sedikit menyebutkan tentang lelaki tua itu sama istri dan anak-anakku, dengan harapan mereka juga ikut peduli dan tidak terkejut jika aku suatu saat mencoba berbuat kebaikan untuknya walau kecil.
Pagi ini 15 Juli 2011aku memberanikan diri untuk singgah lalu mengajaknya berbincang. Lelaki itu tersenyum ketika aku sapa, ia jawab dengan bahasa jawa yang kental yang kira-kira artinya 'ya, beginilah keadaan saya'. Lalu sayapun duduk persis disampinya dan mencoba mengajaknya berbincang untuk menggali keadaanya sekaligus untuk mengurangi rasa penasaran saya selama ini. Begitu memperhatikan secara seksama, ternyata aku selama ini tertipu melihat kondisi tubuhnya yang terlihat bugar, ternyata ia sangat ringkih dan begitu menderita. Tubuhnya yang dulu kuat, sehat, tangguh dan kekar mulai digerogoti oleh penyakit yang dideritanya tapi masih terlihat sisa-sisanya, kekuatan.
"Maaf pak, saya selalu perhatikan bapak selama ini?, maaf nama bapak siapa?"
"Sanuwan"
"Bapak dari mana?".
"Saya dari Jawa Tengah, Kendal".
"Berapa umur Bapak dan apa kerja Bapak, saya perhatikan dari pagi sampai malam cuma duduk disini".
"Umur saya kira-kira 40 tahun, saya tidak kerja lagi sejak menderita penyakit yang saya juga tidak tahu, dulu saya kerja bangunan dijodoh, Nagoya, Angrek Mas, zaman Batam masih sepi dan masih banyak hutannya. Saya sempat tinggal di daerah Toss 3000 Jodoh (dulu tempat terkenal kehidupan malam para orang-orang liar). Saya disini sebatangkara. Ia berujar hampir tak terdengar oleh saya dan wajahnya terlihat muram sekali.
"Masa Bapak umurnya 40, saya saja udah lebih 40 (sedikit kurang percaya) mungkin 50 tahun lebih pak, bapak sudah ke dokter?. Sambil memperhatikan raut wajah dan anggota tubuhnya yang lain.
"Ya 40, soalnya mbak Pur itu baru sekitar 40 juga (iapun menunjuk kesalah satu rumah), padahal ia lebih tua dari saya. Saya dulu pernah ke dokter, tapi kata dokter itu tubuh saya tidak sakit".
"Lalu apa yang Bapak rasakan". Lalu ia menunjuk bagian diatas tumit kaki kanannya (betis bawah) yang terasa sakit, kalau berjalan (iapun berjalan dan berdiri dihadapan saya) sakitnya terasa kesekujur tubuh-jari tangannya menunjuk melingkari tubuhnya dan berhenti dikepala, sehingga membuat saya tidak bisa melakukan apa-apa (maksudnya bekerja seperti dulu lagi). Sekarang saya sudah pasrah saja ke pada Tuhan ujarnya lemah.
"Lalu siapa mbak Pur itu".
"Bukan siapa-siapa saya, hanya tetangga disini, Mbak Purlah yang memberi saya minum, makan, kalau tidak diberi saya tidak makan, termasuk kopi ini". Sambil memegang setengah gelas kopi disampingnya.
"Sebenarnya Bapak sejak kapan disini".
Saya lalu mencoba melihat dengan membuka pintu bangunan yang sangat kecil itu. Masya Allah ternyata hanya bekas sebuah kios reot, tempat ia beristirahat untuk tidur atau berlindung dari hujan. Lalu saya mengukur lebarnya dengan tangan saya, mulai dari paling ujung jari tengah saya hingga ke bagian dada kiri saya, kurang lebih 1 meter dan panjangnya hanya 1,5 meter. Tidak ada apa-apa didalamnya kecuali beberapa lembar pakaian tergantung, kompor kecil bekas yang sepertinya sudah lama tak dipakai, dan sebuah kotak plastik.
"Disini saya sudah sekitar 6 bulan, dulu saya tinggal disana, menunjuk satu arah ke ruli (rumah liar) tak jauh dari tempat kami berbincang) disamping perumahan Eden Park. Ruli yang saya tempati sama yang punya ingin dipakai, lalu saya pindah kesini, dan minta izin ke mbak Pur tapi ruli inipun harus dibongkar, kios inilah sekarang tempat saya istirahat. Sebelumnya lagi saya di Jodoh".
"Memangnya tahun berapa bapak ke Batam dan sama siapa, maksud saya siapa yang mengajak".
"Saya ke Batam tahun 81" saya sendiri yang mau ke Batam tak ada yang ngajak.
"Bapak punya saudara atau keluarga",
"Saya tidak punya siapa-siapa, sebelum ke Batam saya di Tanjung Pinang-Bintan di Batu 8 Bawah sejak tahun 1979, bersama kakak kandung saya Namanya Sumarti dan Misri, tapi sejak lama saya kehilangan hubungan dengan mereka, entah dimana mereka sekarang. Kedua orangtua sayapun sudah tidak ada". Posisi wajahnya datar menghadap kedepan, tatapannya jauh menerawang menembus ruang dan waktu, mungkin ke masa lalu, masa kecil mereka yang penuh kasih sayang dan kekeluargaan.
"Bapak tak menghubungi mereka atau ingin bertemu dengan mereka?".
"Ya.. tentu tapi saya tidak tahu mereka dimana, dan bagaimana caranya?. ujarnya berharap.
"Maaf pak apa Bapak dulu sekolah?".
"Saya buta huruf tak pernah sekolah, jadi tak mengenal huruf-huruf".
"Kalau uang paham ya pak?, tak boleh ditipu?"
"Kalau uang saya paham" iapun tertawa lepas bersama saya.
"Bapak punya saudara, misalnyaa paman atau bibik".
"Tak punya semuanya sudah meninggal, saya benar-benar sebatang kara disini".
"Pak maaf ya..saya mungkin bisa membantu sebisa saya, mana tau dengan menulis tetang Bapak ini ada yang tergerak hati untuk membantu Bapak atau bisa mempertemukan Bapak dangan kakak Bapak itu Ibu Sumarti dan siapa pak satu lagi?".
"Misri..ah dia mana mau mencari saya, sejak dulu ia selalu musuh dengan saya". ujarnya datar.
"Bapak pernah menikah?".
"Bapak pernah menikah?".
"Saya belum pernah menikah, belum pernah punya istri".
Lalu sayapun pulang dan menceritakan kejadian itu dengan istri saya. Dan ketika menuju tempat aktifitas saya bersama istri saya singgah lagi memberikan bantuan penganan ala kadarnya dan memotretnya dengan HP, hasilnya lumayan, tapi tidak maksimal menangkap emosi jiwa dan kerut-kerut diwajagnya. Jadi teringat kamera nikonku yang dicuri orang, semoga saja tak lama lagi aku mendapatkan penggantinya yang lebih baik amiin.
Bagi anda yang ingin membantu silahkan langsung saja menemui pak Sanuwan. di depan Perumahan Pondok Indah-Taman Baloi-Batam Kota-Batam Centre. Tak Jauh dari Centre Park-simpang kara. Atau menghubungi saya melalui email; Kolubirmn@gmail.com. Siapapun mungkin bisa membantu. Termasuk rekan-rekan wartawan, sahabat-sahabat di Tanjung Pinang.
Comments