KERAJAAN SRIWIJAYA GAGAL MEMBANGUN SOSIAL BUDAYA
Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah dikenal Kerajaan Pertama di Nusantara yang benar-benar besar dan luas jangkauan kekuasaannya hingga ke Thailand dan Vietnam, itu dibuktikan dengan penemuan beberapa prasasti batu tulis disana. Banyak juga yang meyakini bahwa perkembangan melayu dimulai di kerajaan Sriwijaya.
Begitu besarnya kerajaan Sriwijaya membuat orang-orang yang ada di Sumatra Selatan begitu bangganya, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mengabadikan, mengindentikkan banyak hal dengan nama SRIWIJAYA. Mulai dari nama Pangdam, nama pabrik pupuk, nama harian (Koran) yang terbit disana, nama gedung olah raga dan banyak lagi. Penulis sangat berkeyakinan hanya sedikit sekali masyarakat Sumatera Selatan yang memahami mengapa mereka bangga dengan kerajaan SRIWIJAYA, karena pengetahuan tentang hal itu sangat sedikit, catatan-catatan lengkap tentang kerajaan SRIWIJAYA sangat sedikit dan tidak menyebar, cerita-cerita yang berlatar belakang kerajaan itu baik di TV, Koran dan Radio, buku juga sangat kurang. Mereka hanya tahu kerjaan itu besar dan luas, tapi mengapa besar dan luas mereka tak paham, mengapa pula kerajaan sebesar itu tidak memiliki peninggalan istana kerajaan, para ahli masih ragu memastikan letak istana kerajaan SRIWIJAYA.
Kebesaran kerajaan Sriwijaya itu hingga kini tidak terlihat dalam kehidupan, ritual, sosial budaya masyarakat Sumatera Selatan yang mengakar dan masih dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak seperti di Bali, Mataram, kesultanan Yogyakarta, atau Solo, disana hingga kini masih kita temukan pengaruh kuat kerajaan masa lampau, berupa pelaksanaan ritual dan sosila budaya yang masih dilakukan hingga kini.
Kekuasaan kerajaan Sriwijaya yang mencapai daerah Asia Tenggara itu, sesungguhnya merupakan cerminan bahwa orang-orang Sriwijaya memiliki kemampuan yang luar biasa, baik kemampuan dalam peperangan, kelautan, dan kemampuan manajerial serta kemampuan dalam kepemimpinan, dalam dunia pendidikan disana kala itu terdapat sejenis universitas Agama Budha terbesar, berkat kemampuan yang luar biasa itu jangkauan kekuasaanya sangat luas dan boleh dikata mereka dominan kala itu di Asia Tenggara. Namun kini Sriwijaya hanyalah tinggal sebuah nama, kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang Sriwijaya kala itu tidak menurun pada orang-orang Sumatera Selatan masa kini.
Sebagai bukti, sungguh sedikit orang-orang dari Sumatera Selatan yang menonjol di Indonesia, baik dalam bidang pendidikan, hukum, seni, budaya, musik, dunia usaha, pemerintahan, politik, kelautan dan disektor-sektor lainnya. Hanya sedikit pula orang Sumatera Selatan yang menjadi pimpinan PANGDAM, KAPOLDA, PUPUK SRIWIJAYA, PERTAMINA, BATUBARA. Bila itu menjadi ukurannya maka sesungguhnya kerajaan Sriwijaya telah gagal membangun sosial budaya ketika itu. Sangat sulit kita temukan di Sumatera Selatan ritual sosial budaya yang diklaim sebagai peninggalan kerajaan Sriwijaya yang masih dilaksanakan hingga hari ini.
Kegagalan lain kerajaan SRIWIJAYA yang boleh menjadi ukuran adalah masyarakat Sumatera Selatan di perantauan tidak pernah memiliki organisasi kekeluargaan / kekerabatan yang benar-benar bertahan dan sukses. Organisasi itu muncul lalu hilang ditelan masa, rasa kekeluargaan mereka kuat tapi kebersamaan mereka sangat lemah. Organisasi kekeluargaan / kekerabatan diperantauan itu tidak juga memiliki sumbangan yang mengikat secara emosional terhadap daerah asalnya, organisasi itu tidak pernah memiliki sumbangan secara teratur bagi daerah asalnya baik dalam ide pemikiran maupun dalam bentuk materi. Pihak PEMDApun tidak terlihat mencoba mengakomodir serta memanfaatkan para perantau yang telah sukses untuk ikut memikirkan dan membangun Sumatera Selatan.
Mungkin terputus sudah hubungan antara kerajaan SRIWIJAYA dengan masyarakat Sumatera Selatan masa kini, akibat bangunan sosial budaya yang dibangun kala itu tidak kokoh dan mengakar. Maksudnya manusia-manusia kerajaan SRIWIJAYA terputus dengan manusia-manusia Sumatera Selatan sekarang.
Pelaksanaan PON beberapa waktu lalu di Palembang bukanlah suatu jaminan akan mengembalikan kebesaran Sriwijaya dimasa lampau, masih perlu diuji secara berkesinambungan. Banyak bukti bahwa orang Sumatera Selatan hanya pandai berbangga dengan apa yang dimilikinya tapi tak mampu merawat, mengembangkannya serta memaksimalkan pemamfatannya sehingga apa yang dimilikinya mampu menghasilkan pendapatan atau bernilai jual. Di Sumatera Selatan juga ada Danau Ranau, juga ada bangunan kuno, pemandangan alam yang indah, kain songket yang sangat kesohor kualitas bahan dan tenunannya. Namun hingga kini pendapatan daerah dari sektor pariwisata boleh dianggap sangat rendah.
Siapa yang tak bangga dengan jembatan AMPERA, dan jembatan itu menjadi identitas yang menyatu secara kental dengan masyarakat Sumatera Selatan, namun hingga menjelang PON tempat itu bukanlah tempat yang nyaman dan menyenangkan, bahkan bukanlah tempat yang dia anjurkan untuk dikunjungi baik oleh masyarakat Palembang sendiri maupun oleh pihak pengelola agen wisata dan hotel. Padahal kalau kita mencoba membandingkan dengan menara Eiffel di Paris, patung Liberty di AS, Big Bennya Inggris, menara miring di Roma, patung singa di Singapura, menara kembar di Malaysia. Taklah jauh berbeda, semuanya adalah hasil buatan manusia, hanyalah sebuah bangunan yang kemudian menjadi identitas. Bangunan-bangunan tersebut dikelola sedemikian rupa sehingga mampu menyedot perhatian manusia diseluruh dunia dan menghasilkan pendapatan bagi masing-masing kota/negara. Tapi itu tidak terjadi untuk jembatan AMPERA, padahal sesungguhnya sangat bisa.
Pemerintah kota Palembang seharusnya menciptakan rasa aman dan menyenangkan di seputaran lokasi jembatan AMPERA terlebih dahulu, hilangkan citra angker, kemudian jadikanlah lokasi jembatan AMPERA sebagai tempat yang sangat berkesan, romantis dan menyenangkan kalbu bagi setiap yang mengunjungi atau melihatnya baik dari bangunan jembatan maupun dari sungai musi serta dari daratan.Jika itu bisa diwujudkan oleh pemerintah kota Palembang, efeknya terhadap yang lain sungguh luar biasa, perekonomian dan pertumbuhan pembangunan akan terpacu.
Contoh lain adalah, betapa minimnya kita temukan di televisi, di koran serta media lainnya yang menjadikan Sumatera Selatan (Palembang & Bahasa Wong kito) sebagai latar belakang iklan komersial maupun iklan pemerintah/BUMN, dijadikan latar sebuah cerita film maupun sinetron. Palembang juga belum menjadi kota barometer/tujuan bagi pameran-pameran, investasi, poling-poling yang diadakan bersekala nasional. Kita masih tertinggal jauh hampir disegala bidang, padahal sesungguhnya kita sangat bisa, bila mengacu pada keberhasilan dan kebesaran KERAJAAN SRIWIJAYA. Semoga ini menjadi bahan renungan dan AYO BANGKIT untuk lebih besar lagi, lebih dominan lagi.
KOLUBI ARMAN, SE.
Asli berasal : Sumatera Selatan ( OKU )
Pend. Terkahir : Sarjana Ekonomi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Bekerja : Kawasan Indistri Lobam, P. Bintan Prop. KEPRI. Sebagai Kepala Personalia pada sebuah Perusahaan dari Jerman. Dan juga pernah menjadi Ketua organisasi Himpunan Keluarga Sumatera Selatan Kec. Bintan Utara tahun 2004-2006.
Comments