CUKUP SEDERHANA.
Tadi malam, saya dan istri mengahadiri undangan. Kalau lihat dan baca undangannya, maka itu adalah undangan perkawinan. Cukup sederhana sekali undangan itu ada tulisan 'We 're getting married' kemudian ditulis tanggal, tempat, waktu acaranya dan nama pasangan berbahagia itu beserta gambar mereka yang lelaki bule lumayan berumur dan wanita Indonesia tulen masih muda. Cukup itu saja.
Waktu mau berangkat, saya sempat tanya istriku sama siapa kita berangkat karena terus terang kedua mempelai tidak kami kenal. Undangan sampai ke kami karena RT dan Ibu RTku yang kenal dekat dengan mempelai wanita, jadi kami sebagai RW di beri undangan. Saya bilang jangan sampai tempat acara kita 'celinguan / lihat kiri kanan' karena tak satupun yang dikenal, atau mempepelai bertanya 'who are you' atau berteriak 'SECURIIITYYYY!!' untuk mengusir kami. Kami berduapun tertawa karena candaan saya itu.
Akhirnya saya teringat dan telpon RT untuk mempertanyakan jam berapa mereka mau pergi, eh...ternyata RTku langsung ngajak barangkat sama-sama. Berangkatlah kami berempat menuju lokasi, sampai dilokasi ternyata ada dua acara yang serupa, yang lain acara warga Tionghoa, diruangan yang sangat besar seperti bisa meanmpung 500 orang sekaligus dan kami harus melewati acara warga Tinghoa itu, lalu kamipun ditunjukkan ruang tempat acara.
Benar saja sampai di ruang berukuran 7 m X 12 m tidak ada satupun yang kami kenal. Saya dan istripun langsung mencari meja bundar yang kosong disudut. Istri saya langsung berbisi 'aku fikir seperti pesta nikah pada umumnya, ada panggung, ada pelaminan, dan seterusnya, Ini kesannya acara makan-makan, cuma bedanya ada raja dan ratunya". Ya...memang sangat jauh dari bayangan sebuah perta pernikahan ala Indonesia, tidak ada kata sambutan-sambutan yang biasanya panjang membosankan diawal acara, tidak ada tarian tradisional, tidak ada ritual lainnya ala pesta perkawinan ala Indonesia, di dinding depan secara bergantian ditampilkan gambar pengantin dalam berbagai pose yang ceria diberbagai tempat.
Disetiap meja bundar telah di tata rapi berbagai peralatan dan perlengkapan makan, 'soft drink', sebotol anggur merah. Ditengah meja yang bisa diputar ada mangkuk kecil untuk asparagus, kacang rebus tanpa kulit berukuran besar, dan onde-onde mungil, sayapun segera memulai tanpa ada aba-aba, karena aku fikir itu bukan untuk pajangan, tapi untuk dimakan, yang lainpun dimeja saya pada ikutan. Kemudian mulai berdatangan hidangan pembuka dalam sebuah piring berblok (tidak menyatu/ada pemisahnya) yang serba berukuran mini, salad seafood, sosis goreng, migoreng, dan dua lagi saya tak ingat pula.
Setelah itu datang asparagus yang langsung di tuangkan ke mangkuk-mangkuk kecil dan kamipun di meja itu langsung memulai. Istriku berbisik 'asparagus ini lain dari biasanya terlalu kental' dan akupun menyambung 'ya..biasanya ada daging kepiting atau putih kecil-kecil bertebaran seperti putih telur, tapi tetap enak diseruput dalam keadaan hangat pula. Kemudian berdatangan satu persatum nasi dengan tampilan nasi goreng tapi bukan nasi goreng karena tidak ada rasa cuma diberi asesoris potongan kecil ayam, sayuran, timun. Kemudian hadir ikan goreng kuah asam, ayang goreng bawang, capcai brokoli, daging sapi lada hitam, dan udang goreng. Piringnya serba mungil jadi gak perlu mengambil lauk pauk dalam jumlah banyak, sedikit tapi terus berulang.... kalau tak malu.
Kenyang dan enak...akupun berbisik sama istriku, ini harus rebus daun salam. Rebusan daun salam biasanya aku minum untuk mentralisir pengaruh makanan 'seafood' yang biasanya kolesterolku langsung naik, juga untuk menurunkan asam uratku.
Kemudian si pengantin pria yang bule berbicara dalam bahasa Inggris yang tak begitu jelas terdengar lalu ia mengambil kotak kecil berisi cincin dan kemudian pengantin saling memakaikan cincin, tak lama kemudian mereka saling berciuman bibir didepan semua undangan. Ah...benar-benar sebuah acara sederhana dan 'to the point', apakah ini pesta pernikahan?, ataukah ini model pesta pernikahan masa kini yang harus meninggalkan ritual-ritual ala pesta pernikahan tradisi masyarakat Indonesia. Atau kita tidak lagi punya kesanggupan untuk melaksanakan pesta pernikahan ala Indonesia yang mahal, ruwet dan melelahkan.
Bukankah pesta pernikahan yang besar, megah, mewah, banyak undangan yang datang bukan suatu keharusan, yang penting ada saksi dan sah dengan maksud handai tolan, kerabat telah mengatahui telah terjadi pernikahan. Pasangan ini saya yakin cukup berkemampuan untuk melaksanakan pesta nikah yang mewah, namun seperti mereka cukup arif tidak terjebak pada tren pesta yang besar, mewah dan megah. Semoga menjadi renungan dan bermanfaat.
Disetiap meja bundar telah di tata rapi berbagai peralatan dan perlengkapan makan, 'soft drink', sebotol anggur merah. Ditengah meja yang bisa diputar ada mangkuk kecil untuk asparagus, kacang rebus tanpa kulit berukuran besar, dan onde-onde mungil, sayapun segera memulai tanpa ada aba-aba, karena aku fikir itu bukan untuk pajangan, tapi untuk dimakan, yang lainpun dimeja saya pada ikutan. Kemudian mulai berdatangan hidangan pembuka dalam sebuah piring berblok (tidak menyatu/ada pemisahnya) yang serba berukuran mini, salad seafood, sosis goreng, migoreng, dan dua lagi saya tak ingat pula.
Setelah itu datang asparagus yang langsung di tuangkan ke mangkuk-mangkuk kecil dan kamipun di meja itu langsung memulai. Istriku berbisik 'asparagus ini lain dari biasanya terlalu kental' dan akupun menyambung 'ya..biasanya ada daging kepiting atau putih kecil-kecil bertebaran seperti putih telur, tapi tetap enak diseruput dalam keadaan hangat pula. Kemudian berdatangan satu persatum nasi dengan tampilan nasi goreng tapi bukan nasi goreng karena tidak ada rasa cuma diberi asesoris potongan kecil ayam, sayuran, timun. Kemudian hadir ikan goreng kuah asam, ayang goreng bawang, capcai brokoli, daging sapi lada hitam, dan udang goreng. Piringnya serba mungil jadi gak perlu mengambil lauk pauk dalam jumlah banyak, sedikit tapi terus berulang.... kalau tak malu.
Kenyang dan enak...akupun berbisik sama istriku, ini harus rebus daun salam. Rebusan daun salam biasanya aku minum untuk mentralisir pengaruh makanan 'seafood' yang biasanya kolesterolku langsung naik, juga untuk menurunkan asam uratku.
Kemudian si pengantin pria yang bule berbicara dalam bahasa Inggris yang tak begitu jelas terdengar lalu ia mengambil kotak kecil berisi cincin dan kemudian pengantin saling memakaikan cincin, tak lama kemudian mereka saling berciuman bibir didepan semua undangan. Ah...benar-benar sebuah acara sederhana dan 'to the point', apakah ini pesta pernikahan?, ataukah ini model pesta pernikahan masa kini yang harus meninggalkan ritual-ritual ala pesta pernikahan tradisi masyarakat Indonesia. Atau kita tidak lagi punya kesanggupan untuk melaksanakan pesta pernikahan ala Indonesia yang mahal, ruwet dan melelahkan.
Bukankah pesta pernikahan yang besar, megah, mewah, banyak undangan yang datang bukan suatu keharusan, yang penting ada saksi dan sah dengan maksud handai tolan, kerabat telah mengatahui telah terjadi pernikahan. Pasangan ini saya yakin cukup berkemampuan untuk melaksanakan pesta nikah yang mewah, namun seperti mereka cukup arif tidak terjebak pada tren pesta yang besar, mewah dan megah. Semoga menjadi renungan dan bermanfaat.
Comments