MAIN COMOT CALEG ALA PARTAI.
Partai politik (parpol) kedodoran memenuhi kuota 30 persen daftar calon
legislatif (caleg) perempuan untuk Pemilu 2014. Parpol kewalahan
merekrut caleg perempuan berkualitas untuk daerah terpencil di luar
Jawa. Tulis Rakyat Merdeka On line, Kamis 04 April 2013.
Inilah alasan mengapa Partai Politik peserta pemilu wajib ikutkan wanita jadi caleg; Pasal 27 Ayat (2) Huruf b Peraturan KPU Nomor 7 Tahun
2013 menyebutkan bahwa apabila ketentuan 30 persen keterwakilan
perempuan tidak terpenuhi, maka partai politik dinyatakan tidak memenuhi
syarat pengajuan daftar bakal calon pada daerah pemilihan bersangkutan
dalam pemilu 2014.
Partai-partai peserta pemilu kewalahan, dalam upaya memenuhi atauran tersebut, sebab bila tidak dipenuhi terancam batal mengikuti Pemilu tahun 2014. Kenapa pula keterwakilan perempuan harus diatur dan wajib di laksanakan, padahal tidak semua daerah di Indonesia memiliki perempuan-perempuan yang siap / bersedia untuk berpolitik.
Ini cerita partai-partai peserta pemilu di Kabupaten Bintan-Kepulauan Riau, kesulitan mencari caleg perempuan. Beberapa partai terpaksa main comot caleg wanitanya, untuk memenuhi aturan tersebut. Saya tahu betul tetangga saya dulu di Lobam-Bintan Utara, kini menjadi Caleg partai besar, melihat dari aktifitasnya selama ini ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang aktif di PKK, namun bukan aktifis Partai, kebetulan dulu suaminya aktifis partai, sudah hampir tiga tahun suaminya berhenti menjadi aktifis partai.
Ada juga caleg wanita yang 'dibeli', itulah istilah saya. Supaya seorang wanita Caleg mau dan bersedia menjadi caleg, maka semua kebutuhan proses pencalegkannya dan saat kampanye, telah dijanjikan akan ditanggung oleh angota Dewan yang saat ini menjabat dan ingin mencalonkan lagi. Kartu anggotanya secara kilat telah terbit, padahal bukan anggota partai. Sang anggota Dewan berkepentingan karena kalau tidak ada calon pendamping baik wanita dan pria sebagai 'caleg' maka partainya tidak dapat menjadi peserta pemilu di Bintan. Cerita seperti diatas saya yakin tidak hanya di di Bintan, namun juga terjadi dimana-mana.
Harap maklum, cerita kesulitan mendapatkan caleg pria apalagi perempuan. Banyak perempuan diberbagai daerah masih enggan berpolitik praktis. Keengganan perempuan diantaranya; pendidikan belum memadai (termasuk pengetahuan politik dan berpolitik), kemampuan dana (politik Indonesia membutuhkan ongkos tidak sedikit). Politik itu bagi sebahagian perempuan masih menakutkan. Masih banyak juga perempuan yang belum sanggup mengumbar janji-janji politik, dan seterusnya.
Akhirnya partai main comot dalam menentukan caleg. Soal kualitas nanti dulu. Saya khawatir pola ini akhirnya menyebabkan kualitas anggota Dewan rendah. Akhirnya sekedar hadir dan dapat uang rakyat, sementara kontribusinya sebagai wakil rakyat tidak ada. Sidang-sidang hanya mengangguk karena ngantuk, dan kurang memahami materi sidang. Kalaupun bicara dan berjuang bukan untuk rakyat tapi untuk partai. Oh...Indonesia engkau tidak akan maju, jika begini terus.
Partai-partai peserta pemilu kewalahan, dalam upaya memenuhi atauran tersebut, sebab bila tidak dipenuhi terancam batal mengikuti Pemilu tahun 2014. Kenapa pula keterwakilan perempuan harus diatur dan wajib di laksanakan, padahal tidak semua daerah di Indonesia memiliki perempuan-perempuan yang siap / bersedia untuk berpolitik.
Ini cerita partai-partai peserta pemilu di Kabupaten Bintan-Kepulauan Riau, kesulitan mencari caleg perempuan. Beberapa partai terpaksa main comot caleg wanitanya, untuk memenuhi aturan tersebut. Saya tahu betul tetangga saya dulu di Lobam-Bintan Utara, kini menjadi Caleg partai besar, melihat dari aktifitasnya selama ini ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang aktif di PKK, namun bukan aktifis Partai, kebetulan dulu suaminya aktifis partai, sudah hampir tiga tahun suaminya berhenti menjadi aktifis partai.
Ada juga caleg wanita yang 'dibeli', itulah istilah saya. Supaya seorang wanita Caleg mau dan bersedia menjadi caleg, maka semua kebutuhan proses pencalegkannya dan saat kampanye, telah dijanjikan akan ditanggung oleh angota Dewan yang saat ini menjabat dan ingin mencalonkan lagi. Kartu anggotanya secara kilat telah terbit, padahal bukan anggota partai. Sang anggota Dewan berkepentingan karena kalau tidak ada calon pendamping baik wanita dan pria sebagai 'caleg' maka partainya tidak dapat menjadi peserta pemilu di Bintan. Cerita seperti diatas saya yakin tidak hanya di di Bintan, namun juga terjadi dimana-mana.
Harap maklum, cerita kesulitan mendapatkan caleg pria apalagi perempuan. Banyak perempuan diberbagai daerah masih enggan berpolitik praktis. Keengganan perempuan diantaranya; pendidikan belum memadai (termasuk pengetahuan politik dan berpolitik), kemampuan dana (politik Indonesia membutuhkan ongkos tidak sedikit). Politik itu bagi sebahagian perempuan masih menakutkan. Masih banyak juga perempuan yang belum sanggup mengumbar janji-janji politik, dan seterusnya.
Akhirnya partai main comot dalam menentukan caleg. Soal kualitas nanti dulu. Saya khawatir pola ini akhirnya menyebabkan kualitas anggota Dewan rendah. Akhirnya sekedar hadir dan dapat uang rakyat, sementara kontribusinya sebagai wakil rakyat tidak ada. Sidang-sidang hanya mengangguk karena ngantuk, dan kurang memahami materi sidang. Kalaupun bicara dan berjuang bukan untuk rakyat tapi untuk partai. Oh...Indonesia engkau tidak akan maju, jika begini terus.
Comments